Jumat, 12 November 2021

MENGAPA KEBANYAKAN ORANG MENGIKUTI PENDAPAT MAYORITAS?

Mengapa Kebanyakan Orang  Mengikuti Pendapat Mayoritas?


Tulisan untuk Ujian Tengah Semester

Psikologi Sosial II

(Semester Ganjil 2021/2022)

 Elsa Kusumandari (20310410041)

Kelas Regular (A)

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta, M.A



 Ketika sebuah isu merebak di macam-macam media sosial, berbondong-bondong orang mencuitkan opininya. Terlebih ketika isu tersebut menyinggung sisi personal atau afiliasinya, mereka akan dengan lantang bersuara di depan khalayak untuk membela hal yang diyakininya.

Terlepas dari adanya evaluasi atau pertimbangan ulang terhadap pandangannya sendiri, banyak orang cenderung meneriakkan A ketika kelompok atau orang-orang di sekelilingnya berteriak A. Yang mengkhawatirkan dari tindakan ikut-ikutan bersuara atau bersepakat adalah ketika orang-orang mengambil keputusan atau beropini hanya bermodalkan pengetahuan atau informasi yang mereka dengar tanpa mengecek lebih lanjut kebenarannya.

Saya yakin tidak ada kebenaran di luar yang saya yakini karena orang-orang di sekitar saya pun mempercayai hal yang sama’ adalah satu gejala mengerikan yang jadi cikal bakal fanatisme dan ekstremisme.

Contoh yang jamak ditemukan adalah penyebaran berita tidak benar atau hoax di media-media sosial. Sejumlah alasan mengapa orang ikut-ikutan menyebarkan hoax telah dikaji dalam sejumlah studi ilmiah, beberapa di antaranya adalah tidak ingin ketinggalan tren, dianggap mengerti suatu isu, menjaga keterhubungan dengan kelompok perkawanannya, dan kemalasan memverifikasi lantaran kadung yakin bahwa orang yang pertama kali mempublikasi berita hoax adalah sosok yang kredibel.


• Hal-Hal yang Memicu Konformitas

Dalam situs The Wall Street Journal, Robert M. Sapolsky memberi penjelasan mengenai mengapa konformitas dapat terjadi dari aspek sains. Argumentasinya diawali dengan hasil riset Solomon Asch pada dekade 50-an yang mengobservasi perilaku sejumlah individu ketika disodorkan pertanyaan di lingkup kelompok. Ketika beberapa orang memberikan jawaban salah atas pertanyaan tersebut, individu-individu lainnya memperlihatkan kecondongan mengikuti hal yang serupa. Peneliti saraf lantas mengkaji apa yang terjadi pada otak saat seseorang bertindak konform seperti ini. Ketika seseorang merasa tak bersepaham dengan kelompoknya, amygdala dan insular cortex—bagian dari otak yang berasosiasi dengan kecemasan, kemuakan, dan kegelisahan—akan teraktivasi. Tidak hanya itu, bagian otak lain yang berasosiasi dengan pengoreksian kesalahan pun akan turut teraktivasi. Semakin banyak bagian otak yang teraktivasi ketika merasa berbeda dan ‘bersalah’ kepada kelompoknya, semakin mungkin seseorang bertindak konform untuk mencari ketentraman.

Sementara dalam situs Psyblog, terangkum sejumlah hasil penelitian beberapa ilmuwan terkait pemicu-pemicu konformitas lainnya. Bond (2005) misalnya, mengatakan besarnya kelompok atau jumlah individu yang tergabung dalam suatu afiliasi berpengaruh terhadap perilaku konform seseorang. Lain lagi dengan hasil riset Tong et. al. (2007). Mereka menemukan korelasi antara suasana hati dengan konformitas. Semakin baik suasana hati seseorang, semakin tinggi kemungkinannya bertindak konform.

Trik-trik psikologi lainnya pun dapat memancing konformitas seperti membuat seseorang takut akan sesuatu, kemudian menyodorkannya ketenangan. Dengan begitu, ia akan berpotensi mengikuti kata-kata pihak yang seolah menjadi juruselamatnya tersebut, demikian pendapat Dolinski & Nawrat (1998) dalam jurnal bertajuk “Fear-Then-Relief" Procedure for Producing Compliance: Beware When the Danger Is Over.

Satu lagi yang berperan meningkatkan level konformitas individu adalah budaya setempat. Masyarakat di dunia Barat yang memiliki budaya individualis memiliki kecenderungan berperilaku konform lebih kecil dibanding mereka yang hidup dalam budaya kolektif seperti di Asia Timur menurut Kim & Markus (1999). Maka tak heran, dalam konteks masyarakat Indonesia yang mayoritas menganggap utama hubungan kekerabatan dan kolektivitas, konformitas lebih dimungkinkan terjadi.

• Kuatnya Konformitas di Media Sosial

Media sosial menjadi wadah selebrasi bagi individu untuk menuangkan gagasan, selera, gaya, dan segala macam perspektif dalam memandang suatu hal. Namun, meskipun pendapat personal sangat dimungkinkan untuk ditampilkan, kebanyakan warganet masih saja bermentalitas kawanan. Twitter, Facebook, Instagram, dan ragam media sosial lainnya menjelma ruang penuh kotak-kotak afiliasi dan membuat konformitas kian menjadi-jadi.

Perilaku konformitas di media sosial pada akhirnya dapat menciptakan isolasi dari pengaruh-pengaruh yang tidak sesuai dengan hal yang dipercayai seseorang. Studi lain tentang opini publik di Twitter seputar pemilu di AS pada 2012 menunjukkan, 90% kicauan dari kandidat Partai Demokrat diserap oleh pemilih yang berafiliasi dengan partai tersebut dan begitu pun terjadi di sisi Partai Republik.

Dalam beberapa konteks, tindakan konform dapat mendatangkan banyak manfaat, bahkan bukan tidak mungkin menyelamatkan seseorang dari marabahaya. Namun perlu diingat, sekalipun tidak bisa dimungkiri bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa melepaskan tindak-tanduknya dari pengaruh sekitar, memiliki dan berpegang teguh pada pendapat pribadi juga penting. Tentunya setelah melakukan pengujian berulang terhadap keyakinannya tersebut dan tidak menutup mata terhadap aneka kebenaran lain di sekitar.



0 komentar:

Posting Komentar