Minggu, 19 November 2023

Esai 5 Belajar di TPST Randu Alas Puji Astutik Psikologi Lingkungan SP

 

Belajar Pengelolaan 3R Sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Randu Alas

Esai 5 : Belajar di TPST

Psikologi Lingkungan

Puji Astutik – 21310410164

Dosen Pengampu : Dr., Dra. Arundati Shinta MA


Permasalahan jumlah sampah yang tidak terkendali di Yogyakarta umumnya karena masyarakat sekedar membuang tanpa mengelola sampah. Selain itu jumlah TPST juga dirasa masih kurang. Penutupan sementara TPA Piyungan lalu, menimbulkan banyak bukit sampah di beberapa sudut Jogja. Permasalahan ini akan terus berlanjut selama persepsi masyarakat masih sama terkait pengelolaan sampah. Sosialisasi harus gencar dilakukan karena berkurangnya jumlah sampah sangat dipengaruhi oleh kesadaran pengelolaan sampah masyarakat utamanya dari sampah rumah tangga.

TPST Randu Alas adalah tempat pengelolaan sampah berbasis 3R (Reduce, Reuse, Recycle) yang ada di Yogyakarta. Sejarah pendirian TPST yang beralamat di Candi karang, Sleman ini bermula dari adanya tanah kas desa yang tidak dimanfaatkan dengan baik, sehingga digunakan warga sekitar untuk membuang sampah secara liar. Dampak dari perilaku warga tersebut adalah lingkungan desa yang menjadi tercemar. Hal tersebut yang mendasari para pengurus desa mengajukan proposal pembuatan TPST ke Dinas Lingkungan Hidup. Pengajuan proposal akhirnya disetujui. TPST Randu Alas ini berdiri pada tahun 2015 dan mulai beroperasi pada 16 Februari 2016.

Di TPST Randu Alas sampah organik yang berasal dari alam dikelola menjadi berbagai produk sampah seperti kompos dan turunannya. Sementara sampah anorganik yang berasal dari produk pabrik (kertas, plastik, seng), TPST menyetorkannya kepada pengepul sampah.

Proses pembuatan kompos di TPST Randu Alas ini menggunakan beberapa cara yaitu (1) Metode Bata berongga, (2) Teknik Windro (bambu segitiga), dan (3) Takakura (tas bahan rami bisa juga dari bambu). Ketiga metode tersebut digunakan karena aman dan mampu melepaskan gas metan sehingga mampu mencegah bahaya timbunan gas metan yang berpotensi meledak.

Mikro Organisme Lokal (MOL) yang digunakan untuk kompos merupakan buatan TPST sendiri di bawah bimbingan Perusahaan NGO Jerman, BORDA.  Cara pembuatan kompos, daun dicacah lalu diberi MOL dengan perbandingan 1:10. Lakukan pengecekan suhu setiap hari selama 30 hari. Kompos yang sudah panen ditawarkan kepada petani dengan harga Rp 1.000,- per kg untuk menyuburkan tanaman holtikultura. Jika petani tidak membeli maka hasil panen kompos ini disetor ke Dinas Lingkungan hidup dengan harga Rp 1.250,- per kg.

Untuk pembuatan pupuk organik cair menggunakan tetes tebu : buah : air dengan perbandingan 1:3:10, dengan minimal 5 jenis sampah buah segar untuk hasil yang bagus. Di TPST ini juga dibudidayakan magot  dan menghasilkan produk magot kering yang digunakan untuk pakan burung kicau/ikan hias yang proteinnya tinggi sehingga membuat ikan hias lebih mengkilap. Seorang mahasiswi UGM bernama Rania bekerjasama dengan TPST Randu Alas berhasil membuat air lindi yang terbuat dari sampah untuk menetralisir bau seperti septic tank atau got.

Bapak Sujono selaku perwakilan dari TPST menjelaskan beberapa kendala yang dihadapi diantaranya sampah dari warga yang belum dipilah dan kendala pada Sumber Daya Manusia. Kendala lain yang dihadapi adalah mesin/teknologi belum ada yang sesuai dengan kebutuhan yang ada di TPS.

Keberadaan TPST Randu Alas sangat membantu pengurangan sampah di Yogyakarta. Dari sini saya belajar bahwa sampah memang seharusnya dikelola bukan dibuang. Semua sampah bisa bermanfaat jika dikelola dengan benar. Dalam ranah lebih luas perlu kolaborasi antar pihak yang terkait yaitu pemerintah, akademisi, dan praktisi. Jika 3 pilar ini sudah berkolaborasi maka pengelolaan sampah di Yogyakarta akan lebih optimal.

0 komentar:

Posting Komentar