Jumat, 17 November 2023

Esai 5 Belajar di TPST Randu Alas Adip Norman Fatkuri Psikologi Lingkungan SP

 

ESSAY V : TPSP 3R RANDU ALAS

ADIP NORMAN FATKURI – 21310410176


Dosen Pengampu: Dr., Dra. Arundati Shinta MA

Darurat sampah di Kota Yogyakarta adalah permasalahan yang timbul akibat penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan, Bantul, karena kelebihan muatan sampah, yang berlangsung dari 23 Juli hingga 5 September 2023. Dampak dari penutupan ini adalah penumpukan sampah di berbagai lokasi, mengakibatkan masalah lingkungan dan kesehatan. Warga terpaksa membakar sampah sendiri, yang berdampak negatif pada kualitas udara. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY) menunjuk Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Tamanmartani, Sleman, sebagai alternatif. Meskipun demikian, langkah ini belum sepenuhnya menyelesaikan masalah sampah di DIY.

TPS 3R Randu Alas merupakan fasilitas pengelolaan sampah yang terletak di Dusun Candi Karang, Desa Sardonoharjo, Sleman, Yogyakarta. Bapak Sujono menjelaskan tentang TPSP 3R Randu Alas yang diajukan melalui proposal kepada Dinas Lingkungan Hidup dan dibangun pada tahun 2015, dioperasikan pada 16 Februari 2016.  TPS ini menerima beragam jenis sampah dari sumber-sumber seperti pemukiman penduduk, toko buah, rumah makan, minimarket, instansi, sekolah, dan kantor pemerintah. Dengan menerapkan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle), TPS 3R Randu Alas berupaya mengurangi volume sampah yang dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). TPS 3R Randu Alas bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan sampah yang ramah lingkungan, sekaligus memberikan manfaat ekonomi kepada warga di sekitarnya.

TPSP berfungsi sebagai fasilitas pengolahan sampah dari masyarakat. Akibat kondisi darurat, sampah menumpuk karena terdapat kendala dalam pembuangan sampah selama tiga bulan terakhir. TPA Piyuangan tidak dapat mengolah sampah dengan baik karena kekurangan teknologi yang mendukung. Sebagai solusi, lokasi pembuangan sampah akhir direncanakan akan dipindahkan ke Taman Martani. Bapak Sujono menekankan bahwa sampah adalah tanggung jawab bersama dan perlu pengelolaan yang efektif untuk mencegah dampak negatif bagi lingkungan.

Sampah diambil dan dipilah sesuai jenisnya, meskipun proses pemilahan tidak optimal karena kurangnya sumber daya manusia. Sebagai solusi sementara, sampah hanya dipilah menjadi dua kategori, yaitu organik dan non-organik. Sampah non-organik diambil oleh juragan rosok untuk didaur ulang, sedangkan 30% dari sampah organik diolah sendiri menjadi kompos dan produk turunannya. Proses pembuatan kompos memakan waktu sekitar 40 hari dan melibatkan beberapa sistem, termasuk teknik bata berongga, teknik windrow dari bambu, dan sistem takakura. TPSP mengikuti standar bersama "borda” NJO dari Jerman mengenai pembuatan bakteri dan teknik efisien lainnya.


Kompos dijual kepada petani atau disetorkan kepada DLH. Selain itu, sampah buah dimanfaatkan untuk membuat pupuk organik cair ("poc") dan eco-enzim. Penumpukan sampah menjadi bau, Rania membuat eco-Lindi dari sampah untuk menghilangkan bau. Sampah juga dijadikan pakan untuk budidaya magot, peluang usaha karena larva black soldier fly (BSF) mengandung protein tinggi.

Namun, terdapat kendala teknologi yang belum memenuhi kebutuhan agar pengolahan sampah menjadi lebih efisien. Kolaborasi yang lebih baik antara pemerintah, akademisi, dan pelaku juga diperlukan. TPSP menghadapi kendala terkait jumlah personel yang terbatas (hanya enam orang) dan kurangnya kesadaran serta pemahaman masyarakat dalam memilah sampah sesuai fungsinya. Pak Joko menambahkan bahwa karena kondisi darurat dan keterbatasan sumber daya manusia, proyek bisnis TPSP harus terhenti. Saat ini, TPSP Randu Alas sedang merancang alat pembakaran sampah ramah lingkungan dengan kapasitas 3 kubik per hari, didukung oleh beberapa pihak swasta seperti Astra dan bantuan mesin pemilah sampah dari Bapak Bahrul Hamid Sidoharjo.

0 komentar:

Posting Komentar