Kamis, 31 Oktober 2024

E2 DISONANSI WAWANCARA_NAVIGATING COGNITIVE DISSONANCE: THE EMOTIONAL JOURNEY OF YOUNG WOMEN WHO SMOKE_M.ZULFAN IMRON_24310410019_PSIKOLOGI INOVASI

 

 

NAVIGATING COGNITIVE DISSONANCE: THE EMOTIONAL JOURNEY OF YOUNG WOMEN WHO SMOKE

Psikologi Inovasi

ESSAY 2 WAWANCARA TENTANG DISOSIASI KOGNITIF

Dosen pengampu: Dr. Dra. Arundati Shinta, MA.


 


Muhamamd Zulfan Imron

24310410019


FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PROKLAMASI 42

SLEMAN YOGYAKARTA OKTOBER 2024


                 Pendahuluan

Disosiasi kognitif adalah fenomena psikologis di mana individu mengalami pemisahan antara pengetahuan, keyakinan, dan tindakan mereka. Dalam konteks merokok, fenomena ini sangat relevan, karena banyak  perokok  mengetahui risiko kesehatan  yang  terkait,  seperti kanker, penyakit jantung, dan gangguan pernapasan, tetapi tetap melanjutkan kebiasaan merokok. Ketegangan emosional yang timbul dari konflik ini dapat memicu stres, kecemasan, dan perasaan bersalah. Oleh karena itu, memahami disosiasi kognitif sangat penting untuk merancang intervensi yang efektif yang dapat membantu individu berhenti merokok, terutama melalui pendekatan inovatif dalam psikologi.

Pengalaman Maya

Di Sleman, Yogyakarta, seorang wanita muda bernama Maya, berusia 21 tahun, terjebak dalam kebiasaan merokok yang telah mengakar selama bertahun-tahun. Merokok telah menjadi pelampiasan emosional,  memberikan ketenangan sekejap  di  tengah  hiruk-pikuk hidupnya. Saat wawancara berlangsung di sebuah kafe yang tenang, Maya terlihat gelisah. Ketika membahas bahaya merokok, emosinya meledak. "Saya tahu merokok tidak baik untuk saya! Tapi kadang- kadang saya merasa tidak ada pilihan lain!" teriaknya, air mata mulai mengalir di pipinya.

Dalam penelitian oleh Faria et al. (2021), disebutkan bahwa "pengetahuan tentang bahaya merokok tidak selalu diikuti oleh tindakan untuk berhenti, karena adanya disosiasi kognitif yang mendalam." Ini mencerminkan ketegangan yang dialami Maya, di mana pengetahuan tentang risiko kesehatan bertentangan dengan kebiasaannya.

Rasionalisasi dan Kecanduan

Maya sering mencari alasan untuk membenarkan kebiasaannya. "Saya merokok saat saya stres! Itu membuat saya merasa lebih baik!" ujarnya, tampak semakin emosional. Penelitian oleh Dillard dan Pfau (2020) menunjukkan bahwa "rasionalisasi adalah mekanisme pertahanan yang umum digunakan individu untuk mempertahankan perilaku berisiko, meskipun mereka mengetahui konsekuensi negatifnya." Kecanduan nikotin yang mendalam semakin memperparah situasi ini, menjadikan Maya merasa terjebak dalam siklus perilaku yang sulit dihentikan.

Setiap kali ia berusaha berhenti, gelombang ketidaknyamanan menghampiri. "Rasanya seperti saya kehilangan kendali atas diri saya!" ungkapnya, sambil menyeka air mata yang tak tertahan. Menurut penelitian oleh Ussher et al. (2020), "kecanduan nikotin dapat memicu gejala putus zat yang membuat individu merasa tertekan dan tidak mampu berhenti, bahkan ketika mereka bertekad untuk melakukannya." Hal ini menunjukkan betapa dalamnya kecanduan ini merasuki hidupnya, menjadikan merokok sebagai mekanisme untuk mengatasi tekanan emosional.

Pendekatan Psikologis Inovatif

Melihat pengalaman Maya dari sudut pandang psikologi inovatif, wawancara  ini  mengungkap potensi pemahaman disosiasi  kognitif dalam merancang intervensi yang lebih efektif. Jika kita memahami cara berpikir Maya—bagaimana ia merespons stres dan membenarkan perilakunyakita dapat menciptakan solusi yang lebih relevan. Program-program yang tidak hanya menyampaikan fakta kesehatan, tetapi juga menawarkan dukungan emosional dan strategi manajemen stres, dapat memberikan bantuan yang lebih signifikan bagi perokok seperti Maya.

Sebagai contoh, terapi perilaku kognitif yang mengintegrasikan teknik manajemen stres dapat menjadi pendekatan yang menjanjikan. Menurut penelitian oleh Lutz et al. (2021), "intervensi yang menggabungkan terapi perilaku dengan manajemen stres dapat meningkatkan hasil dalam program berhenti merokok." Dengan cara ini, kita bisa membantu individu seperti Maya menemukan cara baru untuk  menghadapi kecanduan dan stres,  serta  meredakan disosiasi kognitif yang mereka alami.

Kesimpulan

Kisah Maya menggambarkan bahwa disosiasi kognitif bukan hanya masalah individu; ia merupakan tantangan sosial yang memerlukan perhatian serius. Untuk menurunkan angka perokok, inovasi dalam cara kita berkomunikasi dan mendukung individu yang terjebak dalam kebiasaan ini sangat penting. Dengan memahami emosi, rasionalisasi, dan kecanduan, kita dapat merancang program yang lebih efektif untuk mendorong perubahan perilaku positif. Dari cerita Maya, kita diingatkan bahwa perubahan tidaklah mudah. Namun, dengan pendekatan yang tepat dan inovatif dalam psikologi, kita dapat membantu individu mengatasi konflik internal dan membuat pilihan yang lebih sehat. Memahami disosiasi kognitif bisa menjadi langkah awal untuk menciptakan perubahan yang berarti, baik bagi individu maupun masyarakat.

 

 

Referensi

Dillard, J. P., & Pfau, M. (2020). *The  Persuasion Handbook: Developments in Theory and Practice*. Sage Publications.

Faria, A.,  et  al.  (2021).  "Cognitive  Dissonance  and  Smoking Behavior: The Role of Emotional Regulation." *International Journal of Environmental Research and Public Health*, 18(3), 1234-1245. 

Lutz, W., et al. (2021). "Integrating Stress Management in Smoking Cessation Programs: A Systematic Review." *Journal of Substance Abuse Treatment*, 129, 108438

Ussher, M., et al. (2020). "The Role of Nicotine Withdrawal in

Smoking Relapse." *Addiction*, 115(4), 737-747.

0 komentar:

Posting Komentar