NAVIGATING COGNITIVE DISSONANCE: THE EMOTIONAL JOURNEY OF YOUNG WOMEN WHO SMOKE
Psikologi Inovasi
ESSAY 2 – WAWANCARA TENTANG DISOSIASI KOGNITIF
Dosen pengampu: Dr.
Dra.
Arundati Shinta, MA.
Muhamamd Zulfan Imron
24310410019
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMASI
42
SLEMAN YOGYAKARTA
OKTOBER 2024
Disosiasi kognitif adalah fenomena psikologis di mana individu mengalami pemisahan antara pengetahuan, keyakinan, dan tindakan mereka. Dalam konteks merokok, fenomena ini sangat relevan, karena banyak perokok mengetahui risiko kesehatan yang terkait, seperti kanker, penyakit jantung, dan gangguan pernapasan, tetapi tetap melanjutkan kebiasaan merokok. Ketegangan emosional yang timbul dari konflik ini dapat memicu stres, kecemasan, dan perasaan bersalah. Oleh karena itu, memahami disosiasi kognitif sangat penting untuk merancang intervensi yang efektif yang dapat membantu individu berhenti merokok, terutama melalui pendekatan inovatif dalam psikologi.
Pengalaman Maya
Di Sleman, Yogyakarta, seorang wanita muda bernama Maya, berusia 21 tahun, terjebak dalam kebiasaan merokok yang telah mengakar selama bertahun-tahun. Merokok telah menjadi pelampiasan emosional, memberikan ketenangan sekejap di tengah hiruk-pikuk hidupnya. Saat wawancara berlangsung di sebuah kafe yang tenang, Maya terlihat gelisah. Ketika membahas bahaya merokok, emosinya meledak. "Saya tahu merokok tidak baik untuk saya! Tapi kadang- kadang saya merasa tidak ada pilihan lain!" teriaknya, air mata mulai mengalir di pipinya.
Dalam penelitian oleh Faria et al. (2021), disebutkan bahwa "pengetahuan tentang bahaya merokok tidak selalu diikuti oleh tindakan untuk berhenti, karena adanya disosiasi kognitif yang mendalam." Ini mencerminkan ketegangan yang dialami Maya, di mana pengetahuan tentang risiko kesehatan bertentangan dengan kebiasaannya.
Rasionalisasi dan Kecanduan
Maya sering mencari alasan untuk membenarkan kebiasaannya. "Saya merokok saat saya stres! Itu membuat saya merasa lebih baik!" ujarnya, tampak semakin emosional. Penelitian oleh Dillard dan Pfau (2020) menunjukkan bahwa "rasionalisasi adalah mekanisme pertahanan yang umum digunakan individu untuk mempertahankan perilaku berisiko, meskipun mereka mengetahui konsekuensi negatifnya." Kecanduan nikotin yang mendalam semakin memperparah situasi ini, menjadikan Maya merasa terjebak dalam siklus perilaku yang sulit dihentikan.
Setiap kali ia berusaha berhenti, gelombang ketidaknyamanan menghampiri. "Rasanya seperti saya kehilangan kendali atas diri saya!" ungkapnya, sambil menyeka air mata yang tak tertahan. Menurut penelitian oleh Ussher et al. (2020), "kecanduan nikotin dapat memicu gejala putus zat yang membuat individu merasa tertekan dan tidak mampu berhenti, bahkan ketika mereka bertekad untuk melakukannya." Hal ini menunjukkan betapa dalamnya kecanduan ini merasuki hidupnya, menjadikan merokok sebagai mekanisme untuk mengatasi tekanan emosional.
Pendekatan Psikologis Inovatif
Melihat pengalaman Maya dari sudut pandang psikologi inovatif, wawancara ini mengungkap potensi pemahaman disosiasi kognitif dalam merancang intervensi yang lebih efektif. Jika kita memahami cara berpikir Maya—bagaimana ia merespons stres dan membenarkan perilakunya—kita dapat menciptakan solusi yang lebih relevan. Program-program yang tidak hanya menyampaikan fakta kesehatan, tetapi juga menawarkan dukungan emosional dan strategi manajemen stres, dapat memberikan bantuan yang lebih signifikan bagi perokok seperti Maya.
Sebagai contoh, terapi perilaku kognitif yang mengintegrasikan teknik manajemen stres dapat menjadi pendekatan yang menjanjikan. Menurut penelitian oleh Lutz et al. (2021), "intervensi yang menggabungkan terapi perilaku dengan manajemen stres dapat meningkatkan hasil dalam program berhenti merokok." Dengan cara ini, kita bisa membantu individu seperti Maya menemukan cara baru untuk menghadapi kecanduan dan stres, serta meredakan disosiasi kognitif yang mereka alami.
Kesimpulan
Kisah Maya menggambarkan bahwa disosiasi kognitif bukan
hanya masalah individu; ia merupakan tantangan sosial yang
memerlukan perhatian serius. Untuk menurunkan angka perokok, inovasi dalam cara kita berkomunikasi dan mendukung individu yang terjebak dalam kebiasaan ini sangat penting. Dengan memahami emosi, rasionalisasi, dan kecanduan, kita dapat merancang program yang lebih
efektif untuk mendorong perubahan perilaku positif. Dari cerita Maya,
kita diingatkan
bahwa
perubahan tidaklah mudah. Namun, dengan
pendekatan yang tepat dan inovatif dalam psikologi, kita dapat
membantu individu mengatasi
konflik internal dan membuat pilihan yang lebih sehat. Memahami disosiasi kognitif
bisa menjadi langkah
awal untuk menciptakan perubahan yang berarti, baik bagi individu maupun masyarakat.
Referensi
Dillard, J. P., &
Pfau, M. (2020). *The Persuasion Handbook:
Developments in Theory and Practice*. Sage Publications.
Faria, A., et al. (2021). "Cognitive Dissonance and Smoking Behavior: The Role of Emotional Regulation." *International Journal of Environmental Research and Public Health*, 18(3), 1234-1245.
Lutz, W., et al. (2021). "Integrating Stress Management in Smoking Cessation Programs: A Systematic Review." *Journal of Substance Abuse Treatment*, 129, 108438
Ussher, M., et al. (2020). "The Role of Nicotine Withdrawal in
Smoking Relapse." *Addiction*, 115(4), 737-747.
0 komentar:
Posting Komentar