DISONANSI
KOGNITIF PADA PEROKOK AKTIF
PSIKOLOGI INOVASI
ESAI 2- WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF
DOSEN PENGAMPU: Dt., Dra. ARUNDATI SHINTA, MA.
AUSTANIVA
22310410060
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA
OKTOBER 2024
Prevelensi perokok di Indonesia setiap tahunnya
meningkat, berbagai kampanye anti rokok telah digalakkan oleh pemerintah dan
oraganisasi untujk mengurangi angka perokok yang dapat berdampak pada
kesehatan. Para perokok tentunya mengetahui adanya bahaya yang ditimbulkan oleh
rokok sehingga memunculkan adanya disonansi, dimana seseorang terlibat dalam
perilaku yang tidak konsisten dengan keyakinan mereka. Wawancara yang saya
lakukan terhadap seorang perokok aktif bertujuan untuk mengetahui bagaimana
perokok memiliki disonansi kognitif terhadap rokok dan strategi yang digunakan
untuk mengurangi disonansi.
Dari hasil wawancara yang saya lakukan, perokok akan
terlibat dalam perilaku yang tidak konsisten dengan keyakinan mereka, seorang
mengalami ketegangan psikologis yang tidak menyenangkan karena mengetahui
dampak dari rokok namun tetap mencari pembenaran untuk terus merokok. Festinger
(1956) menyatakan bahwa disonansi itu diredusi dengan mengikuti jalur yang
resistensinya paling rendah. Menurutnya, pengurangan disonansi akan mengikuti
jalur yang paling tidak resisten, beberapa penelitian telah menguji hipotesis
bahwa kepercayaan mereka diubah sebelum mereka mengubah suatu perilaku.
Perokok yang memiliki setidaknya 5 tahun pengalaman
merokok telah berusaha untuk berhenti merokok sebelumnya, namun terjadi
perasaan tidak nyaman, pada akhirnya perokok menghindari informasi dan mengubah
keyakinannya daripada berhenti merokok. Hal ini dikuatkan dengan hasil
penelitan yang dilakukan oleh Orcullo dan San (2016) yang menyatakan bahwa
dalam kasus perokok, mereka mengetahui rokok akan membahayakan kesehatan mereka
tetapi akan tetap merokok.
Menurut penuturan informan yang saya wawancarai,
merokok memberikan efek lebih fokus saat bekerja dan tidak akan menimbulkan
masalah kesehatan yang serius asalkan tidak berlebihan. Dalam hal ini perokok
bukannya tidak paham akan resiko yang mereka hadapi, namun mereka beranggapan
bahwa manfaat yang di dapat dari merokok, misalnya menjadi lebih tenang dan
fokus dalam bekerja, dapat dirasakan pada saat ini. Sementara resiko yang
dihadapi, tidak akan langsung terjadi setelah merokok.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa alasan mendasar dari
merokok adalah karena ingin coba-coba yang didorong oleh keinginan pribadi,
diajak teman, dan terpengaruh oleh lingkungan. Informan mulai merokok sejak SMP
karena penasaran dan atas dasar ajakan teman. Pada awalnya informan merasa
tidak nyaman saat pertama meroko, namun lama-kelamaan rokok mampu menjadi
pelampiasan saat informan merasa stress dan membutuhkan fokus untuk mengerjakan
suatu pekerjaan.
Informan mengetahui rokok dapat merusak kesehatan,oleh
karena itu ada perasaan tidak nyaman karena perilaku yang bertentangan dengan
keyakinan orang-orang dan menyebabkan adanya perilaku disonansi. Untuk
mengurangi disonansi,mereka menambah elemen kognitif dengan informasi merokok
tidak langsung berpengaruh terhadap kesehatan mereka, dan justru mereka merasa
turut meningkatkan pendapatan negara melalui cukai rokok.
Daftar Pustaka
Fadholi, F., Prisanto G.F., Ernungtyas N.F. (2020).
Disonansi Kognitif Perokok Aktif di Indonesia. Jurnal RAP: Riset Aktual
Psikologi, 11(1),1-14. DOI: 10.24036/rapun.v11i1.108039
Indartik, I., (2013). Perilaku Merokok Pada Santri Di
Pesantren Roudlotul Falah di Desa Sidorejo Kecamatan Pamotan Kabupaten Rembang.
INTUISI: Jurnal Psikologi Ilmiah, 1(1) 1-5. https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/intuisi
0 komentar:
Posting Komentar