Jumat, 11 Oktober 2024

ESAI 2- WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF

 

DISONANSI KOGNITIF PADA PEROKOK AKTIF

 

PSIKOLOGI INOVASI

ESAI 2- WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF

DOSEN PENGAMPU: Dt., Dra. ARUNDATI SHINTA, MA.

   

 

AUSTANIVA

22310410060

 

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA

OKTOBER 2024

 

Prevelensi perokok di Indonesia setiap tahunnya meningkat, berbagai kampanye anti rokok telah digalakkan oleh pemerintah dan oraganisasi untujk mengurangi angka perokok yang dapat berdampak pada kesehatan. Para perokok tentunya mengetahui adanya bahaya yang ditimbulkan oleh rokok sehingga memunculkan adanya disonansi, dimana seseorang terlibat dalam perilaku yang tidak konsisten dengan keyakinan mereka. Wawancara yang saya lakukan terhadap seorang perokok aktif bertujuan untuk mengetahui bagaimana perokok memiliki disonansi kognitif terhadap rokok dan strategi yang digunakan untuk mengurangi disonansi.

Dari hasil wawancara yang saya lakukan, perokok akan terlibat dalam perilaku yang tidak konsisten dengan keyakinan mereka, seorang mengalami ketegangan psikologis yang tidak menyenangkan karena mengetahui dampak dari rokok namun tetap mencari pembenaran untuk terus merokok. Festinger (1956) menyatakan bahwa disonansi itu diredusi dengan mengikuti jalur yang resistensinya paling rendah. Menurutnya, pengurangan disonansi akan mengikuti jalur yang paling tidak resisten, beberapa penelitian telah menguji hipotesis bahwa kepercayaan mereka diubah sebelum mereka mengubah suatu perilaku.

Perokok yang memiliki setidaknya 5 tahun pengalaman merokok telah berusaha untuk berhenti merokok sebelumnya, namun terjadi perasaan tidak nyaman, pada akhirnya perokok menghindari informasi dan mengubah keyakinannya daripada berhenti merokok. Hal ini dikuatkan dengan hasil penelitan yang dilakukan oleh Orcullo dan San (2016) yang menyatakan bahwa dalam kasus perokok, mereka mengetahui rokok akan membahayakan kesehatan mereka tetapi akan tetap merokok.

Menurut penuturan informan yang saya wawancarai, merokok memberikan efek lebih fokus saat bekerja dan tidak akan menimbulkan masalah kesehatan yang serius asalkan tidak berlebihan. Dalam hal ini perokok bukannya tidak paham akan resiko yang mereka hadapi, namun mereka beranggapan bahwa manfaat yang di dapat dari merokok, misalnya menjadi lebih tenang dan fokus dalam bekerja, dapat dirasakan pada saat ini. Sementara resiko yang dihadapi, tidak akan langsung terjadi setelah merokok.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa alasan mendasar dari merokok adalah karena ingin coba-coba yang didorong oleh keinginan pribadi, diajak teman, dan terpengaruh oleh lingkungan. Informan mulai merokok sejak SMP karena penasaran dan atas dasar ajakan teman. Pada awalnya informan merasa tidak nyaman saat pertama meroko, namun lama-kelamaan rokok mampu menjadi pelampiasan saat informan merasa stress dan membutuhkan fokus untuk mengerjakan suatu pekerjaan.

Informan mengetahui rokok dapat merusak kesehatan,oleh karena itu ada perasaan tidak nyaman karena perilaku yang bertentangan dengan keyakinan orang-orang dan menyebabkan adanya perilaku disonansi. Untuk mengurangi disonansi,mereka menambah elemen kognitif dengan informasi merokok tidak langsung berpengaruh terhadap kesehatan mereka, dan justru mereka merasa turut meningkatkan pendapatan negara melalui cukai rokok.


Daftar Pustaka

Fadholi, F., Prisanto G.F., Ernungtyas N.F. (2020). Disonansi Kognitif Perokok Aktif di Indonesia. Jurnal RAP: Riset Aktual Psikologi, 11(1),1-14. DOI: 10.24036/rapun.v11i1.108039

Indartik, I., (2013). Perilaku Merokok Pada Santri Di Pesantren Roudlotul Falah di Desa Sidorejo Kecamatan Pamotan Kabupaten Rembang. INTUISI: Jurnal Psikologi Ilmiah, 1(1) 1-5. https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/intuisi


0 komentar:

Posting Komentar