Selasa, 29 Oktober 2024

Essay 2 Melakukan wawancara disonansi kognitif oleh Afni Ambar Sari 22310410124 dosen pengampu Arundati Shinta


Nama : Afni Ambar Sari

Nim :22310410124

Mata Kuliah : Psikologi Inovasi

Dosen : Ibu Arundati Shinta

Tahun : 2024

Disonansi Kognitif: Perspektif Seorang Mahasiswa Universitas Proklamasi 45

Disonansi kognitif adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan ketidaknyamanan yang dirasakan seseorang ketika dua atau lebih keyakinan, nilai, atau ide yang dimiliki bertentangan satu sama lain. Untuk memahami konsep ini lebih dalam, saya melakukan wawancara dengan Rina,seorang mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Proklamasi 45 (UP45). Dalam percakapan kami, Rina berbagi pengalamannya tentang bagaimana disonansi kognitif memengaruhi hidup dan perjalanan akademisnya.

Rina memulai dengan menjelaskan bagaimana disonansi kognitif sering muncul dalam lingkungan akademik. "Sebagai mahasiswa, aku sering dihadapkan pada tuntutan untuk mencapai nilai tinggi, sementara di sisi lain, aku percaya bahwa proses belajar yang sesungguhnya jauh lebih penting daripada angka di transkrip," ujarnya. Ketidakselarasan antara nilai akademik yang ingin dicapai dan pandangannya tentang makna pendidikan ini menciptakan ketegangan dalam dirinya.

Salah satu pengalaman paling menonjol yang Rina ceritakan terjadi saat ia menghadapi ujian besar di semester lalu. Meskipun ia telah belajar dengan keras, ia merasa cemas dan ragu terhadap kemampuannya. "Ketika melihat teman-temanku yang tampak percaya diri, aku merasa tidak percaya diri. Di satu sisi, aku tahu bahwa belajar adalah bagian dari perjalanan, tetapi di sisi lain, aku sangat tertekan untuk mendapatkan nilai yang baik," kata Andi. Ketidakpastian ini mengakibatkan disonansi yang mendalam, di mana keinginannya untuk berhasil bertentangan dengan keyakinannya tentang nilai pendidikan.

Untuk mengatasi disonansi ini, Rina mencoba beberapa strategi. Salah satu cara yang dia lakukan adalah dengan membahas perasaannya dengan teman-teman sekelasnya. "Kami sering berdiskusi tentang tekanan akademis dan bagaimana cara menghadapinya. Mengetahui bahwa banyak dari kami mengalami hal yang sama membuatku merasa lebih baik," jelasnya. Dukungan sosial dari teman-teman ternyata sangat membantu mengurangi perasaan tertekan dan meningkatkan rasa percaya dirinya.

Rina juga menyadari bahwa menulis jurnal adalah cara efektif untuk meredakan disonansi kognitif yang dirasakannya. "Dengan menulis, aku bisa memproses perasaanku dan mengevaluasi nilai-nilai yang kupegang. Ini membantuku untuk menyadari bahwa tidak semua tentang nilai akademik, tetapi juga tentang pengalaman dan pembelajaran yang aku dapatkan," ujarnya. Proses refleksi ini memberinya ruang untuk berpikir lebih jernih dan memahami perasaannya.

Di samping itu, Rina berbagi tentang bagaimana dia memutuskan untuk lebih fokus pada kualitas pembelajaran ketimbang hanya mengejar angka. "Aku mulai menghadiri lebih banyak seminar dan diskusi di luar kelas. Dengan cara ini, aku bisa memperluas pemahaman dan menemukan kebahagiaan dalam belajar, bukan hanya dalam mendapatkan nilai," ungkapnya. Pendekatan ini membantunya mengubah perspektifnya dan mengurangi disonansi yang ia rasakan.

Wawancara dengan Rina memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana disonansi kognitif dapat memengaruhi pengalaman seorang mahasiswa. Ia menyadari bahwa ketidaknyamanan yang muncul akibat konflik internal bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tetapi bisa menjadi kesempatan untuk pertumbuhan pribadi. "Disonansi kognitif bisa menjadi sinyal bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam cara kita berpikir atau bertindak. Itu bisa memotivasi kita untuk lebih memahami diri sendiri," katanya.


Melalui pengalaman Rina, kita dapat melihat bahwa disonansi kognitif adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan pendidikan. Ketidaknyamanan ini dapat memicu refleksi yang mendalam, yang pada gilirannya mendorong individu untuk berkembang dan beradaptasi. Dengan pendekatan yang tepat, mahasiswa dapat mengubah tantangan menjadi peluang untuk belajar dan meningkatkan diri.

Sebagai kesimpulan, wawancara dengan Rina menunjukkan bahwa disonansi kognitif bukanlah hal yang perlu ditakuti. Sebaliknya, itu adalah bagian dari proses pembelajaran yang lebih luas. Dengan dukungan sosial, refleksi diri, dan penyesuaian perspektif, mahasiswa seperti Andi dapat mengatasi tantangan ini dan menemukan makna yang lebih dalam dalam pendidikan mereka. Disonansi kognitif, dalam banyak hal, adalah pendorong menuju pemahaman yang lebih baik tentang diri dan tujuan hidup.

0 komentar:

Posting Komentar