Disonasi Kognitif dalam
Kehidupan Sehari-Hari
PSIKOLOGI INOVASI
ESAI 2-WAWANCARA TENTANG DISONANSI
KOGNITIF
Dosen Pengampu: Dr., Dra. Arundati Shinta, MA.
Evan
Prima Pohan
23310420033
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45
YOGYAKARTA
OKTOBER 2024
Pada tanggal 8 Oktober 2024, saya
berkesempatan berbincang dengan "D", seorang mahasiswa Kedokteran
dari UGM. Lokasi kami berbincang berada di “Lembah UGM”. Lokasi ini sering
dipenuhi oleh mahasiswa yang sedang berolahraga. Salah satu mahasiswa tersebut
adalah D, yang saat itu sedang duduk bersama teman-temannya. Di sela-sela
istirahat, beberapa di antara mereka, termasuk D, terlihat merokok. Pemandangan
ini cukup ironis mengingat D baru saja selesai berolahraga, apalagi setelah
mengetahui latar belakangnya sebagai mahasiswa Kedokteran, idealnya ia memiliki
pemahaman yang baik tentang bahaya rokok bagi kesehatan. Hal ini membuat saya
tertarik untuk sedikit mewawancarai D mengenai aktivitasnya tersebut.
Setelah memperkenalkan diri dan berbincang
sejenak, D menjelaskan bahwa meskipun ia menyadari dampak buruk dari rokok, ia
tetap merokok setelah berolahraga karena merasa hal itu membuat tubuhnya lebih
rileks. D mengakui bahwa ia merasa ada konflik batin, terutama mengingat
pengetahuannya tentang polusi udara dan bagaimana zat-zat beracun dalam rokok dapat
merusak kesehatan. Namun, ia juga merasa bahwa sebagai seorang yang masih muda
dan aktif berolahraga, tubuhnya masih cukup kuat untuk menahan efek negatif
dari kebiasaan merokok.
D melanjutkan penjelasannya, "Saya tahu
kalau merokok itu ga baik, terutama dari sisi lingkungan dan kesehatan, tapi jujur,
rasanya malah aneh kalau setelah olahraga saya ga merokok. Saya mikirnya, 'Ah,
tubuh saya masih kuat sekarang, mungkin nanti saya berhenti merokok pas udah menikah.'"
Pemikiran ini adalah contoh dari disonansi kognitif. D menyadari adanya
ketidakselarasan antara apa yang ia ketahui dan apa yang ia lakukan. Namun,
untuk mengurangi ketidaknyamanan mental yang muncul dari ketidaksesuaian ini,
ia menggunakan mekanisme rasionalisasi (rationalization) (Festinger, 1957).
Dengan mengatakan bahwa dirinya masih muda
dan kuat, D berusaha menjustifikasi kebiasaannya merokok, meskipun ia tahu
bahaya yang dapat ditimbulkan. Ini juga tercermin dari bagaimana ia
menyeimbangkan perilakunya. D menyebutkan bahwa ia berolahraga secara teratur,
sehingga merasa kebiasaan sehat ini bisa "mengkompensasi" efek
negatif dari merokok. Dalam situasi ini, D mengandalkan keyakinan bahwa
aktivitas fisik dapat melawan dampak buruk merokok, meskipun secara ilmiah hal
tersebut tidak benar.
Dari sudut pandang psikologi inovasi, kasus
D menunjukkan resistensi terhadap perubahan. Meskipun ia memiliki pengetahuan
tentang dampak buruk rokok, hal itu tidak cukup untuk mendorongnya berhenti
merokok, karena ia masih mempertahankan kenyamanan psikologis. Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun seseorang berada di lingkungan yang mendorong
perilaku sehat, perilaku merokok tetap ada, apalgi jika tidak ada motivasi
internal yang cukup kuat untuk berubah. Fenomena ini dapat dikaitkan dengan
teori resistensi terhadap perubahan yang dikemukakan oleh Oreg (2003), yang
menjelaskan bahwa individu cenderung mempertahankan status quo, terutama ketika
perubahan dianggap mengancam keseimbangan psikologis atau rutinitas mereka. D
menggunakan mekanisme pertahanan diri agar dapat merasa nyaman dengan
kebiasaannya, tanpa harus mengalami ketidaknyamanan mental akibat
pengetahuannya yang bertentangan.
Daftar
Pustaka
Festinger,
L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford University
Press.
Oreg,
S. (2003). Resistance to change: Developing an individual differences
measure. Journal of Applied Psychology, 88(4), 680–693.
0 komentar:
Posting Komentar