Kamis, 10 Oktober 2024

E2-WAWANCARA TTG DISONANSI KOGNITIF: Disonansi Kognitif dalam Kehidupan Sehari-hati_Evan Prima Pohan_23310420033

 

Disonasi Kognitif dalam Kehidupan Sehari-Hari

 

PSIKOLOGI INOVASI

ESAI 2-WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF

Dosen Pengampu: Dr., Dra. Arundati Shinta, MA.

 


Evan Prima Pohan

23310420033

 

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PROKLAMASI 45

YOGYAKARTA

 OKTOBER 2024


Pada tanggal 8 Oktober 2024, saya berkesempatan berbincang dengan "D", seorang mahasiswa Kedokteran dari UGM. Lokasi kami berbincang berada di “Lembah UGM”. Lokasi ini sering dipenuhi oleh mahasiswa yang sedang berolahraga. Salah satu mahasiswa tersebut adalah D, yang saat itu sedang duduk bersama teman-temannya. Di sela-sela istirahat, beberapa di antara mereka, termasuk D, terlihat merokok. Pemandangan ini cukup ironis mengingat D baru saja selesai berolahraga, apalagi setelah mengetahui latar belakangnya sebagai mahasiswa Kedokteran, idealnya ia memiliki pemahaman yang baik tentang bahaya rokok bagi kesehatan. Hal ini membuat saya tertarik untuk sedikit mewawancarai D mengenai aktivitasnya tersebut.

Setelah memperkenalkan diri dan berbincang sejenak, D menjelaskan bahwa meskipun ia menyadari dampak buruk dari rokok, ia tetap merokok setelah berolahraga karena merasa hal itu membuat tubuhnya lebih rileks. D mengakui bahwa ia merasa ada konflik batin, terutama mengingat pengetahuannya tentang polusi udara dan bagaimana zat-zat beracun dalam rokok dapat merusak kesehatan. Namun, ia juga merasa bahwa sebagai seorang yang masih muda dan aktif berolahraga, tubuhnya masih cukup kuat untuk menahan efek negatif dari kebiasaan merokok.

D melanjutkan penjelasannya, "Saya tahu kalau merokok itu ga baik, terutama dari sisi lingkungan dan kesehatan, tapi jujur, rasanya malah aneh kalau setelah olahraga saya ga merokok. Saya mikirnya, 'Ah, tubuh saya masih kuat sekarang, mungkin nanti saya berhenti merokok pas udah menikah.'" Pemikiran ini adalah contoh dari disonansi kognitif. D menyadari adanya ketidakselarasan antara apa yang ia ketahui dan apa yang ia lakukan. Namun, untuk mengurangi ketidaknyamanan mental yang muncul dari ketidaksesuaian ini, ia menggunakan mekanisme rasionalisasi (rationalization) (Festinger, 1957).

Dengan mengatakan bahwa dirinya masih muda dan kuat, D berusaha menjustifikasi kebiasaannya merokok, meskipun ia tahu bahaya yang dapat ditimbulkan. Ini juga tercermin dari bagaimana ia menyeimbangkan perilakunya. D menyebutkan bahwa ia berolahraga secara teratur, sehingga merasa kebiasaan sehat ini bisa "mengkompensasi" efek negatif dari merokok. Dalam situasi ini, D mengandalkan keyakinan bahwa aktivitas fisik dapat melawan dampak buruk merokok, meskipun secara ilmiah hal tersebut tidak benar.

Dari sudut pandang psikologi inovasi, kasus D menunjukkan resistensi terhadap perubahan. Meskipun ia memiliki pengetahuan tentang dampak buruk rokok, hal itu tidak cukup untuk mendorongnya berhenti merokok, karena ia masih mempertahankan kenyamanan psikologis. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun seseorang berada di lingkungan yang mendorong perilaku sehat, perilaku merokok tetap ada, apalgi jika tidak ada motivasi internal yang cukup kuat untuk berubah. Fenomena ini dapat dikaitkan dengan teori resistensi terhadap perubahan yang dikemukakan oleh Oreg (2003), yang menjelaskan bahwa individu cenderung mempertahankan status quo, terutama ketika perubahan dianggap mengancam keseimbangan psikologis atau rutinitas mereka. D menggunakan mekanisme pertahanan diri agar dapat merasa nyaman dengan kebiasaannya, tanpa harus mengalami ketidaknyamanan mental akibat pengetahuannya yang bertentangan.

 

Daftar Pustaka

Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford University Press.

Oreg, S. (2003). Resistance to change: Developing an individual differences measure. Journal of Applied Psychology, 88(4), 680–693.

0 komentar:

Posting Komentar