Kamis, 10 Oktober 2024

Psi.Inovasi : Wawancara Disonansi Kognitif ( Maulana Nor Ikhsan / 22310410083 )

 PEROKOK YANG BEROLAHRAGA

PSIKOLOGI INOVASI

ESAI 2- WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF

DOSEN PENGAMPU: Dr.,Dra. ARUNDATI SHINTA, MA.






MAULANA NOR IKHSAN

22310410083


FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PROKLAMASI 45

YOGYAKARTA

10/2024


Dalam wawancara ini, saya berbicara dengan teman saya yang berinisial A, seorang mahasiswa teknik lingkungan yang memiliki kebiasaan unik namun bertentangan dengan pengetahuannya sendiri. Di usianya yang menginjak 23 tahun, A sangat menyadari pentingnya menjaga tubuh, terutama melalui aktivitas fisik. Sebagai individu yang rajin berolahraga di Gym, A sering menunjukkan komitmen terhadap kebugaran. Namun, yang menarik dari dirinya adalah kebiasaan merokok, sesuatu yang jelas- jelas berlawanan dengan prinsip hidup sehat yang dia pahami: Merokok.


Saat saya menanyakan alasan dibalik kebiasaanya merokok, terutama setelah berolahraga, A terlihat berpikir sejenak, kemudian menjawab dengan tenang, “Saya tahu merokok itu buruk, terutama setelah olahraga, Saya paham benar tubuh membutuhkan waktu untuk pulih, dan merokok jelas tidak membantu. Tapi entah bagaimana, rasanya merokok memberi saya ketenangan setelah latihan yang intens.”


Di sinilah disonansi kognitif mulai tampak. Sebagai mahasiswa teknik lingkungan, A memiliki wawasan yang mendalam mengenai dampak buruh merokok bagi tubuh dan lingkungan. Namun, kebiasaanya sendiri bertentangan dengan pengetahuan tersebut. Inilah yang disebut sebagai disonansi kognitif, yakni kondisi dimana seseorang mengalami ketidaknyamanan psikologis karena adannya ketidaksesuaian antara apa yang mereka ketahui dan apa yang mereka lakukan.


Ketika saya menanyakan lebih dalam mengapa dia tetap mempertahankan kebiasaan merokok meskipun sadar akan dampak negatifnya, A memberikan jawaban yang makin mengungkapkan kompleksitas disonansi yang dia alami. “Setelah latihan, badan saya rasanya lelah dan tegang. Rokok seolah memberi saya waktu istirahat yang instan, semacam cara yang cepat untuk menenangkan diri,” ungkapnya. Dari jawaban ini, terlihat jelas bahwa A mencoba untuk merasionalisasi kebiasaannya. Dia  mencari pembenaran bahwa merokok memberikan semacam kenyamanan setelah berolahraga, meskipun dalam pikirannya dia tahu bahwa tindakan tersebut merugikan kesehatannya.


Mekanisme pertahanan diri yang digunakan A dalam bentuk rasionalisasi ini dengan cara untuk meredakan ketegangan yang muncul dari disonansi kognitif yang dia alami. Dengan memberikan alasan bahwa rokok memberikan efek relaksasi, itu bisa mengurangi perasaan tidak nyaman yang timbul dari kontradiksi antara apa yang dia ketahui dan apa yang dia lakukan. Namun, ini hanyalah bentuk penyesuaian mental yang membuatnya bertahan dalam kebiasaan yang sebenarnya dia sadari berbahaya.


Dari sudut pandang psikologi inovasi, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif, yang tidak hanya fokus pada pemberian informasi, tetapi juga mencakup aspek emosional dan psikologis. Salah satu pendekatan yang efektif adalah terapi kognitif perilaku (CBT), yang dapat membantu individu seperti A untuk menyadari pola pikir yang mendorong mereka untuk merokok dan bagaimana mengubahnya.


Wawancara ini menunjukkan bahwa disonansi kognitif merupakan salah satu hambatan besar dalam mengubah kebiasaan buruk. Dalam kasus A, rasionalisasi berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan kebiasaan merokok meskipun dia sadar bahwa hal tersebut berbahaya. Edukasi saja sering kali tidak cukup, maka dari itu diperlukan pendekatan inovatif yang memperhatikan aspek psikologis dan emosional agar perubahan perilaku yang lebih positif bisa terwujud.


Daftar Pustaka:

  1. Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford University Press.
  2. Cooper, J. (2007). Cognitive Dissonance: 50 Years of a Classic Theory. SAGE Publications.
  3. Aronson, E. (1999). The Social Animal. Worth Punlishers.
  4. O’Keefe, D. J. (2002). Persuasion: Theoy and Research. SAGE Publications.


0 komentar:

Posting Komentar