Kamis, 10 Oktober 2024

Psi.Inovasi : Wawancara Disonansi Kognitif ( Ferdi Zidhane Agibhran/ 22310410085 )


PSIKOLOGI INOVASI

ESAI 2- WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF

DOSEN PENGAMPU: Dt., Dra. ARUNDATI SHINTA, MA.





FERDI ZIDHANE AGIBHRAN

22310410085


FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PROKLAMASI 45

YOGYAKARTA 

OKTOBER/2024




Pada kali ini saya melaksanakan wawancara tentang Disonansi kognitif. Yaitu, sebuah fenomena psikologis di mana pikiran dan tindakan kita tidak sejalan atau perasaan tidak nyaman yang dimiliki seseorang ketika mereka melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui, atau memiliki pendapat yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Dalam Wawancara ini, Saya akan mengulik tujuan kita yaitu untuk mengetahui bagaimana disonansi kognitif terjadi pada perokok dan pengelola sampah. Dalam upaya menggali lebih dalam tentang disonansi kognitif terkait masalah lingkungan wawancara kali ini subjeknya adalah Bagus M.A. (19) Seorang Barista Cafe sembari pengumpul rongsok pada pengelolaan sampah desa saat weekend dan Karis M.A. (22) Seorang Perokok Berat dengan pekerjaan dibidang Security. Wawancara dilakukan di rumah Bagus M.A.,



Bagus memiliki pengetahuan yang cukup tentang daur ulang, pengolahan sampah organik, dan dampak lingkungan dari pembuangan sampah sembarangan. Namun, ketika ditanya tentang kebiasaan pribadinya dalam mengelola sampah di rumah, ia tampak ragu-ragu. "Jujur saja, di rumah saya masih sering mencampur sampah organik dan anorganik. Saya tahu itu salah, tapi terkadang merasa malas untuk memilahnya," ungkap Bagus. Pernyataan Bagus ini mengungkap adanya disonansi kognitif yang mendalam. Di satu sisi, Bagus memiliki peran penting dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pengelolaan sampah yang baik. Di sisi lain, ia sendiri masih kesulitan untuk menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena ini menarik untuk dikaitkan dengan psikologi inovasi. Seringkali, orang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang suatu masalah justru menjadi penghalang bagi perubahan. Mereka mungkin merasa nyaman dengan status quo atau takut akan perubahan. Dalam kasus Bagus, mungkin ada rasa tidak nyaman atau bahkan malu mengakui bahwa dirinya belum sepenuhnya menerapkan prinsip-prinsip yang ia promosikan. Ketika ditanya lebih lanjut tentang alasan di balik perilaku tersebut, Bagus memberikan jawaban yang cukup menarik. "Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan. Memilah sampah itu butuh waktu yang cukup banyak," ujarnya. Pernyataan ini dapat dianggap sebagai salah satu bentuk defense mechanism, yaitu penyangkalan. Dengan menyalahkan kesibukan, Bagus seakan-akan ingin melepaskan tanggung jawab atas perilakunya. Ini adalah mekanisme pertahanan diri yang umum dilakukan oleh manusia untuk melindungi ego mereka. Kata ini sering kali diucapkan oleh orang-orang yang berada dalam situasi serupa dengan Bagus. Mereka merasa telah melakukan segala upaya untuk mengatasi masalah, namun tetap saja ada celah antara pengetahuan dan tindakan. Kata tersebut berfungsi sebagai justifikasi diri dan membantu meredakan perasaan tidak nyaman akibat disonansi kognitif.


Selain Bagus ada juga Karis. Ia adalah seorang perokok berat dengan latar belakang Security Rumah Sakit, mengakui adanya pertentangan dalam dirinya. "Saya tahu betul bahaya rokok bagi kesehatan. Saya sering memberikan larangan merokok kepada pasien yang berkunjung untuk menjaga lingkungan Rumah Sakit nyaman dan sehat. Tapi, entah kenapa, saya sendiri sulit untuk berhenti merokok," ungkapnya dengan nada menyesal. Ketika ditanya mengapa ia masih merokok, Karis seringkali menjawab seperti, "Saya sudah berusaha sekuat tenaga untuk berhenti," atau "Rokok membantu saya untuk rileks." ini sebenarnya adalah bentuk dari rationalization, yaitu upaya untuk memberikan alasan yang masuk akal bagi perilaku yang tidak rasional. Dengan merasionalisasi kebiasaan merokoknya, Karis berusaha mengurangi disonansi kognitif yang dialaminya. Ia menciptakan sebuah narasi di mana kebiasaan merokoknya tidak sepenuhnya salah, melainkan memiliki fungsi tertentu dalam hidupnya. Hal ini membantunya mempertahankan citra diri sebagai seorang profesional Security Rumah Sakit yang kompeten. Karis berusaha menghubungkan kebiasaan merokoknya dengan peningkatan produktivitas kerja, meskipun tidak ada bukti ilmiah yang mendukung klaim tersebut. Dengan cara ini, ia dapat membenarkan perilakunya dan menghindari perasaan bersalah.

Jika kita bandingkan kasus Bagus dan Karis, ada beberapa kesamaan dan perbedaan yang menarik. Keduanya mengalami disonansi kognitif, namun motivasi mereka berbeda. Bagus lebih terdorong oleh rasa tanggung jawab terhadap lingkungan, sedangkan Karis lebih terdorong oleh rasa tanggung jawab terhadap wibawa sebagai Security di Rumah Sakit.



Kisah Bagus dan Karis memberikan gambaran yang jelas tentang kompleksitas masalah pengelolaan sampah. Disonansi kognitif, psikologi inovasi, dan defense mechanism adalah beberapa faktor yang dapat menjelaskan mengapa pengetahuan yang kita miliki tidak selalu berbanding lurus dengan tindakan kita.Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang lebih holistik. Selain memberikan edukasi, kita juga perlu menciptakan lingkungan yang mendukung perubahan perilaku. Misalnya, menyediakan fasilitas pemilahan sampah yang mudah diakses dan memberikan insentif bagi masyarakat yang aktif memilah sampah.


Daftar Pustaka

Fadholi, Guntur Freddy Prisanto , Niken Febrina Ernungtyas, Irwansyah, Safira Hasna. (2020). DISONANSI KOGNITIF PEROKOK AKTIF DI INDONESIA. Jurnal Riset Aktual Psikologi. 11(1), 1-14. 

Adhi Murti Citra Amalia H., S.Ant., M.Med.Kom. (2022, 14 April). Cognitive Dissonance Theory Part I.  Diakses pada 10 Oktober 2024, dari https://telkomuniversity.ac.id/penulisan-daftar-pustaka-dari-buku-artikel-jurnal-makalah-media-online-hingga-video-youtube/



0 komentar:

Posting Komentar