Kamis, 10 Oktober 2024

‘’MEMAHAMI PERILAKU MEROKOK” PSIKOLOGI INOVASI ESAI-2 WAWANCARA TENTANG DISONASI KOGNITIF

 

‘’MEMAHAMI PERILAKU MEROKOK”

PSIKOLOGI INOVASI

ESAI-2 WAWANCARA TENTANG DISONASI KOGNITIF

DOSEN PENGAMPU   : Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA, MA.


VINA ANGGRAINI YOSI NINGRUM

22310410105

 

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA

2024

 

 

Dalam sebuah percakapan yang bertujuan untuk memahami perilaku merokok, saya melakukan wawancara dengan seseorang berinisial H ia merupakan seorang wirausahawan. Seorang perokok aktif selama lebih dari lima tahun. Ketika saya memulai obrolan, H tampak santai, memegang sebatang rokok di tangannya, sementara asapnya mengepul perlahan ke udara.

Saya membuka dengan pertanyaan sederhana, menanyakan alasan H mulai merokok. H menjawab dengan santai dan bergurau, mengingat masa SMA ketika rokok menjadi simbol kedewasaan dan kebebasan. "Dulu, rasanya keren saja, bisa merokok di depan teman-teman," katanya sambil tersenyum. Namun, saat saya bertanya lebih lanjut tentang pandangannya terhadap kesehatan, suasana hati H mulai berubah. Ia mengakui bahwa ia sadar merokok dapat menyebabkan berbagai penyakit, termasuk kanker dan penyakit jantung.

Di sinilah disonansi kognitif mulai muncul. H menjelaskan, "Saya tahu rokok itu buruk, tapi kadang saya merasa itu satu-satunya cara untuk mengatasi stres." Jelas ada pertentangan antara pengetahuan dan tindakan yang ia lakukan. Ia menyebutkan berbagai upaya yang pernah dilakukannya untuk berhenti merokok, seperti menggunakan permen dan mengikuti program berhenti merokok, namun semua usaha itu tak pernah bertahan lama. "Setiap kali saya mencoba berhenti, tekanan di tempat kerja atau masalah pribadi selalu membuat saya kembali lagi," keluhnya. saya menggali pertanyaan lebih dalam dengan menanyakan bagaimana H mengatasi perasaan bersalah yang muncul akibat merokok. H terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab, "Kadang, saya bilang pada diri sendiri bahwa saya merokok hanya di waktu-waktu tertentu, atau saat saya sangat stres. Jadi, saya merasa seolah-olah itu terkendali." Cara berpikir ini merupakan bentuk rasionalisasi, di mana ia mencoba mengurangi ketegangan antara pengetahuannya tentang bahaya merokok dan keinginannya untuk tetap melakukannya.

Di tengah wawancara, H mengatakan banyak dukungan dari teman-teman yang juga merokok sebagai faktor yang memperkuat kebiasaannya. "Ketika saya bersama mereka, rasanya aneh kalau tidak merokok. Kami sering berbagi cerita dan tawa sambil menikmati rokok," ujarnya. Di sini, saya melihat bagaimana lingkungan sosial dapat memperkuat disonansi kognitif di satu sisi, H tahu merokok itu buruk, tetapi di sisi lain, ia tidak ingin kehilangan momen kebersamaan dengan teman-temannya. Saat wawancara semakin dalam, H mulai mengungkapkan keinginan untuk berhenti merokok. Ia mengungkapkan harapan untuk memiliki hidup yang lebih sehat dan melihat masa depan yang lebih baik. Namun, ketakutannya akan gagal lagi membuatnya ragu. "Saya ingin berhenti, tapi saya juga takut tidak bisa. Rasanya stress yang terus berlangsung," katanya dengan nada frustasi.

Kemudian saya menutup wawancara dengan menanyakan apa yang Rizky harapkan untuk dirinya di masa depan terkait kebiasaannya. Rizky menjawab, "Saya berharap bisa menemukan cara untuk mengatasi stres tanpa harus merokok. Mungkin, jika saya bisa menemukan alternatif yang lebih sehat, saya bisa berhenti." Dalam pernyataannya, terlihat harapan dan keinginan untuk merubah, meskipun disertai dengan ketegangan antara pengetahuan dan perilaku. Wawancara ini memberikan gambaran mendalam tentang perjuangan seorang perokok dalam menghadapi disonansi kognitif. Rizky, yang sadar akan bahaya merokok, masih terjebak dalam kebiasaan yang sulit ditinggalkan. Melalui cerita Rizky, peneliti tidak hanya melihat tantangan individu, tetapi juga kompleksitas yang dialami banyak perokok di seluruh dunia.



0 komentar:

Posting Komentar