‘’MEMAHAMI PERILAKU MEROKOK”
PSIKOLOGI INOVASI
ESAI-2 WAWANCARA TENTANG DISONASI
KOGNITIF
DOSEN PENGAMPU : Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA, MA.
VINA ANGGRAINI YOSI NINGRUM
22310410105
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA
2024
Dalam sebuah percakapan yang
bertujuan untuk memahami perilaku merokok, saya melakukan wawancara dengan
seseorang berinisial H ia merupakan seorang wirausahawan. Seorang perokok aktif
selama lebih dari lima tahun. Ketika saya memulai obrolan, H tampak santai,
memegang sebatang rokok di tangannya, sementara asapnya mengepul perlahan ke
udara.
Saya membuka dengan pertanyaan
sederhana, menanyakan alasan H mulai merokok. H menjawab dengan santai dan
bergurau, mengingat masa SMA ketika rokok menjadi simbol kedewasaan dan
kebebasan. "Dulu, rasanya keren saja, bisa merokok di depan
teman-teman," katanya sambil tersenyum. Namun, saat saya bertanya lebih
lanjut tentang pandangannya terhadap kesehatan, suasana hati H mulai berubah.
Ia mengakui bahwa ia sadar merokok dapat menyebabkan berbagai penyakit,
termasuk kanker dan penyakit jantung.
Di sinilah disonansi kognitif mulai
muncul. H menjelaskan, "Saya tahu rokok itu buruk, tapi kadang saya merasa
itu satu-satunya cara untuk mengatasi stres." Jelas ada pertentangan antara
pengetahuan dan tindakan yang ia lakukan. Ia menyebutkan berbagai upaya yang
pernah dilakukannya untuk berhenti merokok, seperti menggunakan permen dan
mengikuti program berhenti merokok, namun semua usaha itu tak pernah bertahan
lama. "Setiap kali saya mencoba berhenti, tekanan di tempat kerja atau
masalah pribadi selalu membuat saya kembali lagi," keluhnya. saya menggali
pertanyaan lebih dalam dengan menanyakan bagaimana H mengatasi perasaan
bersalah yang muncul akibat merokok. H terlihat berpikir sejenak sebelum
menjawab, "Kadang, saya bilang pada diri sendiri bahwa saya merokok hanya
di waktu-waktu tertentu, atau saat saya sangat stres. Jadi, saya merasa
seolah-olah itu terkendali." Cara berpikir ini merupakan bentuk
rasionalisasi, di mana ia mencoba mengurangi ketegangan antara pengetahuannya
tentang bahaya merokok dan keinginannya untuk tetap melakukannya.
Di tengah wawancara, H mengatakan banyak dukungan dari
teman-teman yang juga merokok sebagai faktor yang memperkuat kebiasaannya.
"Ketika saya bersama mereka, rasanya aneh kalau tidak merokok. Kami sering
berbagi cerita dan tawa sambil menikmati rokok," ujarnya. Di sini, saya
melihat bagaimana lingkungan sosial dapat memperkuat disonansi kognitif di satu
sisi, H tahu merokok itu buruk, tetapi di sisi lain, ia tidak ingin kehilangan
momen kebersamaan dengan teman-temannya. Saat wawancara semakin dalam, H mulai
mengungkapkan keinginan untuk berhenti merokok. Ia mengungkapkan harapan untuk
memiliki hidup yang lebih sehat dan melihat masa depan yang lebih baik. Namun,
ketakutannya akan gagal lagi membuatnya ragu. "Saya ingin berhenti, tapi
saya juga takut tidak bisa. Rasanya stress yang terus berlangsung,"
katanya dengan nada frustasi.
0 komentar:
Posting Komentar