Jumat, 11 Oktober 2024

ESAI 2- WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF

 

WAWANCARA PNS PEROKOK

PSIKOLOGI INOVASI

ESAI 2 WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF

DOSEN PENGAMPU : Dr. Dra. Arundati Shinta, MA.

 

  


Rosita

22310410108

  

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45 
YOGYAKARTA

OKTOBER / 2024

 

Merokok merupakan kegiatan yang berdampak buruk tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga orang lain atau keluarga yang ada disekitarnya baik dalam waktu singkat maupun jangka panjang. Namun, meskipun informasi tentang bahaya rokok telah menyebar luas, masih banyak individu yang tetap merokok. Salah satu fenomena psikologis yang dapat menjelaskan mengapa hal ini terjadi adalah disonansi kognitif, yaitu ketidaksesuaian antara keyakinan dan perilaku. Dengan kata lain, seseorang bisa memegang dua keyakinan namun bertentangan satu sama lain. Dalam konteks merokok, ini terjadi ketika seorang perokok menyadari dampak buruk merokok bagi kesehatannya, namun tetap melanjutkan kebiasaan tersebut.

Dalam sebuah wawancara yang saya lakukan dengan seorang perokok yang  berusia 40 tahun yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) memberikan pandangan menarik mengenai kebiasaannya merokok. Perokok ini memulai kebiasaan merokok pada tahun 2012, terpengaruh oleh lingkungannya yang mayoritas perokok. Ketika ditanya mengapa dia merokok, dia menjelaskan bahwa rokok membantunya berpikir lebih tenang dan merilekskan pikirannya, terutama di tengah tekanan pekerjaan yang dihadapi.

Namun, ketika dihadapkan dengan pertanyaan mengenai dampak negatif dari merokok, perokok ini mengakui bahwa ia sadar akan bahayanya. “Saya tahu merokok tidak baik untuk kesehatan, tapi untuk berhenti sekarang saya belum bisa. Saya akan berhenti pelan-pelan saja,” katanya. Pernyataan ini mencerminkan adanya disonansi kognitif dalam dirinya. Di satu sisi, ia menyadari efek buruk dari rokok, tetapi disisi lain, ia masih belum bisa sepenuhnya menghentikan kebiasaan tersebut. Disonansi kognitif juga terlihat dalam caranya merespon pertanyaan tentang kapan ia akan berhenti merokok. Dengan mengatakan bahwa ia akan berhenti secara bertahap, responden seolah-olah mencari jalan tengah untuk meredakan ketidaknyamanannya. Ia tidak menolak sepenuhnya fakta bahwa merokok itu buruk, tetapi disisi lain, ia juga belum siap untuk mengambil tindakan drastis dengan berhenti secara langsung.

Kesimpulannya, wawancara ini menunjukkan bahwa ada disonansi kognitif dalam kebiasaannya merokok. Meskipun perokok seperti responden sadar akan bahaya merokok, mereka sering kali tetap merokok karena manfaat psikologis jangka pendek yang mereka rasakan, seperti relaksasi dan peningkatan konsentrasi. Dengan memahami bagaimana disonansi kognitif mempengaruhi perokok, kita bisa lebih memahami tantangan yang mereka hadapi ketika berusaha berhenti merokok, dan mungkin dapat menemukan pendekatan yang lebih efektif untuk membantu mereka dalam proses tersebut.

REFERENSI

Dampak Buruk Rokok Bagi Perokok Aktif dan Pasif. (2023). Diakses pada 8 Oktober 2024 dari https://ayosehat.kemkes.go.id/dampak-buruk-rokok-bagi-perokok-aktif-dan-pasif

Indriyani. (2022). Disonansi Kognitif: Tanda, Penyebab, Pengaruh, Dampak. Diakses pada 8 Oktober 2024 dari https://www.idntimes.com/health/medical/indri-yani-4/disonansi-kognitif-c1c2.

0 komentar:

Posting Komentar