WAWANCARA PNS PEROKOK
PSIKOLOGI INOVASI
ESAI 2 WAWANCARA TENTANG DISONANSI
KOGNITIF
DOSEN PENGAMPU : Dr. Dra. Arundati
Shinta, MA.
Rosita
22310410108
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA
OKTOBER / 2024
Merokok merupakan kegiatan yang berdampak buruk tidak hanya
bagi diri sendiri, tetapi juga orang lain atau keluarga yang ada disekitarnya
baik dalam waktu singkat maupun jangka panjang. Namun, meskipun informasi
tentang bahaya rokok telah menyebar luas, masih banyak individu yang tetap
merokok. Salah satu fenomena psikologis yang dapat menjelaskan mengapa hal ini
terjadi adalah disonansi kognitif, yaitu ketidaksesuaian antara keyakinan dan
perilaku. Dengan kata lain, seseorang bisa memegang dua keyakinan namun
bertentangan satu sama lain. Dalam konteks merokok, ini terjadi ketika seorang
perokok menyadari dampak buruk merokok bagi kesehatannya, namun tetap
melanjutkan kebiasaan tersebut.
Dalam sebuah wawancara yang saya lakukan dengan seorang
perokok yang berusia 40 tahun yang
bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) memberikan pandangan menarik
mengenai kebiasaannya merokok. Perokok ini memulai kebiasaan merokok pada tahun
2012, terpengaruh oleh lingkungannya yang mayoritas perokok. Ketika ditanya
mengapa dia merokok, dia menjelaskan bahwa rokok membantunya berpikir lebih
tenang dan merilekskan pikirannya, terutama di tengah tekanan pekerjaan yang
dihadapi.
Namun, ketika dihadapkan dengan pertanyaan mengenai dampak
negatif dari merokok, perokok ini mengakui bahwa ia sadar akan bahayanya. “Saya
tahu merokok tidak baik untuk kesehatan, tapi untuk berhenti sekarang saya
belum bisa. Saya akan berhenti pelan-pelan saja,” katanya. Pernyataan ini
mencerminkan adanya disonansi kognitif dalam dirinya. Di satu sisi, ia
menyadari efek buruk dari rokok, tetapi disisi lain, ia masih belum bisa
sepenuhnya menghentikan kebiasaan tersebut. Disonansi kognitif juga terlihat
dalam caranya merespon pertanyaan tentang kapan ia akan berhenti merokok.
Dengan mengatakan bahwa ia akan berhenti secara bertahap, responden seolah-olah
mencari jalan tengah untuk meredakan ketidaknyamanannya. Ia tidak menolak
sepenuhnya fakta bahwa merokok itu buruk, tetapi disisi lain, ia juga belum
siap untuk mengambil tindakan drastis dengan berhenti secara langsung.
Kesimpulannya, wawancara ini menunjukkan bahwa ada disonansi
kognitif dalam kebiasaannya merokok. Meskipun perokok seperti responden sadar
akan bahaya merokok, mereka sering kali tetap merokok karena manfaat psikologis
jangka pendek yang mereka rasakan, seperti relaksasi dan peningkatan
konsentrasi. Dengan memahami bagaimana disonansi kognitif mempengaruhi perokok,
kita bisa lebih memahami tantangan yang mereka hadapi ketika berusaha berhenti
merokok, dan mungkin dapat menemukan pendekatan yang lebih efektif untuk
membantu mereka dalam proses tersebut.
REFERENSI
Dampak Buruk Rokok Bagi Perokok Aktif dan Pasif. (2023). Diakses pada 8 Oktober 2024 dari https://ayosehat.kemkes.go.id/dampak-buruk-rokok-bagi-perokok-aktif-dan-pasif
Indriyani. (2022). Disonansi Kognitif: Tanda, Penyebab, Pengaruh, Dampak. Diakses pada 8 Oktober 2024 dari https://www.idntimes.com/health/medical/indri-yani-4/disonansi-kognitif-c1c2.
0 komentar:
Posting Komentar