ESAI 2- WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF : KEBIASAAN MEMBUANG SAMPAH SEMBARANGAN : WAWANCARA DENGAN SEORANG TERCIDUK MEMBUANG SAMPAH SEMBARANGAN_KEN GELIS WIDIAHAPSARI_22310410063
KEBIASAAN
MEMBUANG SAMPAH SEMBARANGAN
PSIKOLOGI
INOVASI
ESSA1
2- WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF
DOSEN
PENGAMPU : DR.,Dra. ARUNDATI SHINTA, MA.
KEN
GELIS WIDIAHAPSARI
22310410063
FAKULTAS
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS
PROKLAMASI 45
YOGYAKARTA
OKTOBER
/ 2024
Bisa di bilang desa di dekat tempat tinggal saya masih
dikelilingi sungai yang menghubungkan antara sungai sungai kecil lainnya ke
sungai besar di lain desa namun banyak sekali sampah yang mengapung di bantaran
sungai mulai sampah rumah tangga, kotoran sapi atau sampah dari limbah pabrik
tau dikawasan tersebut, kali ini saya mewawancarai dengan seorang bapak berusia
sekitar 49 tahun yang berinisial SK,
Beliau merupakan asli warga sekitar bantaran sungai di dekat daerah tempat
tinggal saya yang tidak sengaja saya temui, Bapak SK merupakan satu contoh
buruk yang termasuk kedalam disonansi kognitif bahwa ada banyak alasan yang
melarang kita semua untuk membuang sampah sembarangan karena dapat menyebabkan
dampak seperti air meluap yang dapat menyebabkan banjir, pemcemaran air yang
menyebabkan bau tak sedap maupun habitat seperti ikan dan udang yang hidup di
sungai menjadi terancam.
Wawancara ini di buat dengan bertujuan untuk memenuhi
tugas Psikologi Inovasi yang masih berkaitan dengan Psikologi Lingkungan untuk
mendalami perilaku disonansi kognitif.
Dari wawancara yang diambil pada tanggal 28 September
2024 sekitar jam 15.40 wib,mendapatkan informasi bahwa SK menyadari dan
mengakui perbuatan itu salah yang bisa menyebabkan dampak yang buruk bagi
lingkungan dan kawasan bantaran sungai namun dengan dalih terpaksa membuang sampah
di sungai lebih hemat biaya dan lebih praktis. “ Saya terpaksa membuang sampah
di sini,dan bukan hanya saya banyak kok yang membuang sampah di sini,kalau
mengenai dampak banjir atau pencemaran ya di doakan saja tidak, selagi itu
tidak terjadi ya tidak apa apa” Ungkapnya, kemudian SK menjawab pertanyaan saya
yang mulai bimbang “Ya saya tau kalau berdampak banjir atau malah penyumbatan
air dan bisa menjadi sarang nyamuk demam berdarah tapi sudah kebiasaan saya di
sini, yam au gimana lagi, kalau baung sampah harus di dekat pasar dan itu jauh
apalagi harus membayar tiap bulannya”.
Dalam wawancara di atas SK menggunakan defense
mechanis atau mekanis pertahanan Denial yang artinya menyangkalan fakta yang
berada di hadapannnya. Hal ini juga diperkuat oleh keadaan lingkungan sekitar
yang menormalisasikan membuang sampah di bantaran sungai sampai sekarang ini
belum ada tindakan dari Lembaga terkait untuk menanggulagi masalah tersebut,
selama sudut mata memandang sudah ada beberapa benner yang terpasang dengan tulisan
“ Jangan Membuang Sampah Disini Atau Rejeki Kalian Akan Terganggu “ nampaknya
usaha yang di keluarkan bagi warga sekitar yang masih peduli akan lingkungan
sia sia. Tidak hanya itu sudah ada beberapa warga yang di larikan ke rumah
sakit akibat terjangkit demam berdarah, namun itu semua tidak bisa menyadarkan
perilaku masyarakat, Masalah ini terjadi bukan hanya masalah factor lingkungan
yang berkebiasaan buruk namun juga faktor
ekonomi maupun pemerintahan/ hukum didaerah tersebut.
Dari masalah ini dapat di simpulkan bahwasanya yang
memiliki pengetahuan atau pengalaman buruk membuang sampah di sekitar bantaran
sungai tidak cukup jera untuk berhenti membuang sampah di sungai, Pemerintahan
di desa tersebut harusnya menggerakan komunitas atau peraturan yang bisa
menjerakan para pelaku pembuangan sampah serta dukungan dari desa sekitar untuk
menciptakan lingkungan yang bersih bebas demam berdarah.
0 komentar:
Posting Komentar