Senin, 24 April 2023

Essay 2: Review & Meringkas Film Youtube _ M. Ekky Wahyu Mumpuni ( 22310420017)


12 ANGRY MEN (1957)

Essay 2

Psikologi  Sosial

M. Ekky Wahyu Mumpuni

22310420017

Dosen Pengampu : Dr.,Dra.ARUNDATI SHINTA,MA

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta


Topik

Proses musyawarah para juri dalam sebuah persidangan pembunuhan. Film ini berfokus pada 12 juri yang ditugaskan untuk memutuskan bersalah atau tidaknya seorang pemuda yang dituduh membunuh ayahnya.

Sumber

12 Angry Men (1957) 1:36:08

https://www.youtube.com/watch?v=VsC_hzuNBUo

Ringkasan

"12 Angry Men" adalah film drama Amerika Serikat tahun 1957 yang disutradarai oleh Sidney Lumet dan dibintangi oleh Henry Fonda. Film ini mengisahkan tentang kisah 12 anggota juri yang diminta untuk memutuskan nasib seorang terdakwa dalam kasus pembunuhan. Mereka semua awalnya sepakat untuk memberikan putusan bersalah terhadap terdakwa, tetapi kemudian satu anggota juri (diperankan oleh Fonda) mempertanyakan keputusan tersebut dan berusaha meyakinkan anggota juri lain untuk mempertimbangkan bukti dengan lebih teliti.


Seiring berjalannya waktu, anggota juri yang tadinya bermusuhan mulai saling mendengarkan satu sama lain dan membuka pikiran masing-masing. Mereka mengeksplorasi setiap bukti yang ada dan mencari tahu apakah ada keraguan yang patut dipertimbangkan. Dalam prosesnya, mereka menemukan kelemahan dalam kasus tersebut dan memperdebatkan kembali setiap hal yang telah mereka sepakati sebelumnya.


 Alur cerita film ini sangat bagus untuk dijadikan studi psikologis yang menarik tentang dinamika kelompok dan pikiran manusia. Film ini menyoroti faktor sosial dan psikologis yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan dalam sebuah kelompok. Para juri, yang tidak saling mengenal satu sama lain, membawa bias, pengalaman, dan prasangka mereka sendiri ke dalam ruang musyawarah. Film ini menunjukkan bagaimana perbedaan individu ini dapat memengaruhi proses pengambilan keputusan kelompok dan hasil akhir dari persidangan.


Film ini juga mengeksplorasi konsep psikologis konformitas. Awalnya, sebagian besar juri dengan cepat menerima bukti yang disajikan dalam persidangan, tetapi seiring berjalannya musyawarah, mereka mulai mempertanyakan asumsi dan bias mereka sendiri. Hal ini terutama terlihat pada karakter yang diperankan oleh Henry Fonda, yang mampu menantang konformitas kelompok dan memaksa mereka untuk berpikir lebih kritis terhadap bukti-bukti yang ada. Film ini menunjukkan bagaimana konformitas dapat menjadi kekuatan yang kuat untuk kohesi sosial dan penghalang bagi pemikiran kritis dan pengambilan keputusan yang independen.


Konsep psikologis penting lainnya yang dieksplorasi dalam "12 Angry Men" adalah disonansi kognitif. Beberapa juri enggan untuk mengubah pikiran mereka, bahkan ketika diberikan bukti baru yang bertentangan dengan keyakinan awal mereka. Keengganan ini disebabkan oleh disonansi kognitif, yang terjadi ketika keyakinan dan tindakan seseorang bertentangan satu sama lain. Film ini menyoroti pentingnya mengenali dan mengatasi disonansi kognitif untuk membuat keputusan yang adil dan tepat.


Terakhir, film ini mengeksplorasi konsep psikologis teori atribusi. Sepanjang film, para juri membuat asumsi tentang karakter terdakwa berdasarkan pengalaman dan bias mereka sendiri. Film ini menunjukkan bagaimana teori atribusi dapat memengaruhi cara orang memandang orang lain dan bagaimana persepsi tersebut dapat memengaruhi pengambilan keputusan. Film ini adalah contoh yang kuat tentang bagaimana teori atribusi dapat mempengaruhi cara kita berinteraksi dengan orang lain dan membuat keputusan.


Kesimpulannya, "12 Angry Men" adalah film yang menggugah pikiran yang menawarkan studi psikologis yang menarik tentang dinamika kelompok, konformitas, disonansi kognitif, dan teori atribusi. Film ini mengangkat pertanyaan penting tentang keadilan dan objektivitas sistem hukum dan menyoroti kekuatan dialog dan pemikiran kritis dalam membuat keputusan yang adil.

Permasalahan

Manusia sering melakukan deduksi tanpa menelaah lebih lanjut dari kesimpulan yang diyakininya, sedangkan suatu kebenaran terkadang tertutupi oleh prasangka. Selalu sulit untuk menjauhkan prasangka pribadi dari hal seperti ini dan di mana pun manusia menemukannya, prasangka selalu mengaburkan kebenaran.

Opini Saya 

Menurut saya, masih banyak dari kita sebagai manusia memandang dan menilai manusia lain kemudian menarik kesimpulan dari apa yang terlihat di orang lain tersebut, dan prasangka selalu mengikuti penilaian kita terhadap oran lain. Namun tidak semua penilaian memerlukan prasangka, memang dalam bidang hukum, untuk menegakkan keadilan memerlukan asas prasangka atau “prejudice” untuk menghubungkan benang-benang merah supaya kebenaran yang benar diketemukan, tetapi jika keputusan yang diambil hanya berdasarkan prasangka, maka hal itu merupakan suatu kesalahan, harusnya prasangka hanya sebagai landasan untuk mencari bukti-bukti dan memperkuat bukti-bukti yang telah diketemukan.


0 komentar:

Posting Komentar