Selasa, 08 Oktober 2024

E2-WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF "“KONFLIK DALAM KEBIASAAN MEROKOK”

 

“KONFLIK DALAM KEBIASAAN MEROKOK”

PSIKOLOGI INOVASI

ESAI 2- WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITI

DOSEN PENGAMPU: Dt., Dra. ARUNDATI SHINTA, MA.


NAMA MAHASISWA

BASTIAN JAN BONA TUA SIRINGORINGO

NIM

22310410069

 

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PROKLAMASI 45

YOGYAKARTA

OKTOBER 2024

Identitas Narasumber : A – Karyawan Swasta

Lokasi                             : Cauvee X BRI Sagan

 

Narasi Wawancara

 Narasumber yang saya wawancarai kali ini adalah seorang pria berinisial A, yang saat ini bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta di Yogyakarta. A sudah merokok selama lebih dari 10 tahun dan meskipun ia menyadari dampak negatif rokok terhadap kesehatannya, ia masih terus melakukannya. Wawancara dilakukan di sebuah warung kopi, tempat di mana A sering menikmati waktunya sambil merokok.

A membuka pembicaraan dengan menceritakan bagaimana ia mulai merokok saat masa kuliah. “Awalnya, cuma ikut-ikutan teman, terus lama-lama jadi kebiasaan,” ujarnya sambil menyalakan sebatang rokok. Ketika ditanya apakah ia tahu bahaya rokok, A dengan cepat menjawab, “Tahu, sih. Banyak iklan yang kasih tahu kalau merokok itu buruk buat kesehatan. Tapi ya, gimana lagi? Sudah terlanjur terbiasa.”

Pernyataan A mencerminkan adanya disonansi kognitif, yaitu ketidaksesuaian antara pengetahuannya tentang bahaya merokok dan perilakunya yang tetap merokok. Di satu sisi, ia memahami risiko seperti kanker paru-paru, penyakit jantung, dan penurunan kualitas hidup. Namun di sisi lain, ia memilih untuk mengabaikan fakta-fakta tersebut karena merokok telah menjadi bagian dari rutinitas dan cara A melepaskan stres.

Dalam wawancara ini, A juga menunjukkan mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) berupa rasionalisasi. Ia berusaha membenarkan kebiasaannya dengan berkata, “Hidup ini sudah banyak stres, rokok ini salah satu cara saya buat tenang. Toh, banyak juga orang yang sehat-sehat saja walau merokok.” Pernyataan ini menggambarkan usaha A untuk meredakan konflik internalnya, sehingga ia tetap merasa nyaman meski bertentangan dengan pengetahuan kesehatan yang dimilikinya.

Dari sudut pandang psikologi inovasi, kebiasaan A yang terus merokok meskipun sudah mengetahui risikonya bisa dihubungkan dengan ketidakmampuannya mengadopsi inovasi dalam gaya hidup sehat. Meskipun informasi tentang dampak buruk merokok sudah tersebar luas dan berbagai metode berhenti merokok tersedia, A belum mampu atau belum mau menerapkan perubahan tersebut dalam hidupnya. Faktor lingkungan, seperti teman-temannya yang juga merokok, serta kurangnya dukungan untuk perubahan, turut memperkuat disonansi yang ia rasakan.

A menutup wawancara dengan mengakui bahwa dirinya mungkin akan berhenti suatu saat nanti, “Tapi nggak sekarang,” katanya sambil tersenyum. “Mungkin nanti kalau sudah punya anak, baru deh saya pikir-pikir lagi.”


Referensi :

Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford University Press.

Stewart, D. W., & Martin, I. M. (1994). Intended and unintended consequences of warning messages: Disonance reduction as a means of adapting to fear-arousing communications. Journal of Consumer Research, 21(1), 447–459.

Jones, B. L., & Heinemann, A. W. (2012). Defense mechanisms and health behavior change: The case of smoking cessation. Journal of Health Psychology, 17(2), 297-305.


0 komentar:

Posting Komentar