“KONFLIK DALAM KEBIASAAN MEROKOK”
PSIKOLOGI INOVASI
ESAI 2- WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITI
DOSEN PENGAMPU: Dt., Dra. ARUNDATI SHINTA, MA.
NAMA MAHASISWA
BASTIAN JAN BONA TUA SIRINGORINGO
NIM
22310410069
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45
YOGYAKARTA
OKTOBER 2024
Identitas Narasumber : A – Karyawan
Swasta
Lokasi : Cauvee X BRI
Sagan
Narasi Wawancara
Narasumber
yang saya wawancarai kali ini adalah seorang pria berinisial A, yang saat ini
bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta di Yogyakarta. A sudah
merokok selama lebih dari 10 tahun dan meskipun ia menyadari dampak negatif
rokok terhadap kesehatannya, ia masih terus melakukannya. Wawancara dilakukan
di sebuah warung kopi, tempat di mana A sering menikmati waktunya sambil
merokok.
A membuka pembicaraan dengan
menceritakan bagaimana ia mulai merokok saat masa kuliah. “Awalnya, cuma
ikut-ikutan teman, terus lama-lama jadi kebiasaan,” ujarnya sambil menyalakan
sebatang rokok. Ketika ditanya apakah ia tahu bahaya rokok, A dengan cepat
menjawab, “Tahu, sih. Banyak iklan yang kasih tahu kalau merokok itu buruk buat
kesehatan. Tapi ya, gimana lagi? Sudah terlanjur terbiasa.”
Pernyataan A mencerminkan adanya
disonansi kognitif, yaitu ketidaksesuaian antara pengetahuannya tentang bahaya
merokok dan perilakunya yang tetap merokok. Di satu sisi, ia memahami risiko
seperti kanker paru-paru, penyakit jantung, dan penurunan kualitas hidup. Namun
di sisi lain, ia memilih untuk mengabaikan fakta-fakta tersebut karena merokok
telah menjadi bagian dari rutinitas dan cara A melepaskan stres.
Dalam wawancara ini, A juga menunjukkan
mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) berupa rasionalisasi. Ia berusaha
membenarkan kebiasaannya dengan berkata, “Hidup ini sudah banyak stres, rokok
ini salah satu cara saya buat tenang. Toh, banyak juga orang yang sehat-sehat
saja walau merokok.” Pernyataan ini menggambarkan usaha A untuk meredakan
konflik internalnya, sehingga ia tetap merasa nyaman meski bertentangan dengan
pengetahuan kesehatan yang dimilikinya.
Dari sudut pandang psikologi inovasi,
kebiasaan A yang terus merokok meskipun sudah mengetahui risikonya bisa
dihubungkan dengan ketidakmampuannya mengadopsi inovasi dalam gaya hidup sehat.
Meskipun informasi tentang dampak buruk merokok sudah tersebar luas dan
berbagai metode berhenti merokok tersedia, A belum mampu atau belum mau
menerapkan perubahan tersebut dalam hidupnya. Faktor lingkungan, seperti
teman-temannya yang juga merokok, serta kurangnya dukungan untuk perubahan,
turut memperkuat disonansi yang ia rasakan.
A menutup wawancara dengan mengakui
bahwa dirinya mungkin akan berhenti suatu saat nanti, “Tapi nggak sekarang,”
katanya sambil tersenyum. “Mungkin nanti kalau sudah punya anak, baru deh saya
pikir-pikir lagi.”
Referensi :
Festinger, L. (1957).
A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford University Press.
Stewart, D. W., & Martin, I. M.
(1994). Intended and unintended consequences
of warning messages: Disonance reduction as a means of adapting to
fear-arousing communications. Journal of Consumer Research, 21(1),
447–459.
Jones, B. L., & Heinemann, A.
W. (2012). Defense mechanisms and health
behavior change: The case of smoking cessation. Journal of Health Psychology,
17(2), 297-305.
0 komentar:
Posting Komentar