Selasa, 05 November 2024

ESSAI 2 MEWAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF (Ester T.H Rumbewas 22310410103)

                                              ESSAI 2 

PSIKOLOGI INOVASI

Dosen Pengampu : Dr., Arundati Shinta, MA.



Ester Therecia Hermin Rumbewas

22310410103

OKTOBER 2024


Disonansi kognitif adalah sebuah konsep dalam psikologi yang menggambarkan perasaan tidak nyaman atau konflik batin yang dialami seseorang ketika pikiran, keyakinan, atau perilaku mereka saling bertentangan. Sederhananya, ini adalah perasaan tidak enak yang muncul ketika kita melakukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang kita yakini benar. 

Teori Disonansi Kognitif menurut Leon Festinger adalah teori yang menjelaskan mengenai konflik yang timbul dari dalam pikiran seseorang ketika terjadi ketidaksesuaian anatara ideologi kognitif dengan sikap dan perilaku, ketidaksesuaian tersebut menimbulkan keributan psikologis yang tidak menyenangkan (Morrisan, 2015).

Dalam kasus ini saya mengambil subjek seorang perokok. Perokok adalah individu yang memiliki kebiasaan merokok dan menjadikan rokok sebagai bagian dari hidupnya, sehingga merasa tidak nyaman jika tidak merokok. Mereka akan selalu membeli rokok dan melakukan apapun untuk menghisapnya.


Identitas Narasumber 

Nama : Sharon

Asal Kampus : UNY


Percakapan Wawancara

Saya (pewawancara) : Berapa lama Anda sudah merokok?

Saron (narasumber) : Saya sudah merokok sejak sekitar 2 tahun yang lalu. Awalnya sih coba-coba, tapi lama-lama jadi kebiasaan.

Saya (pewawancara) : Apakah Anda mengetahui dampak buruk merokok bagi kesehatan?

Saron (narasumber) : Ya, saya tahu dampaknya, seperti bisa menyebabkan kanker paru-paru, penyakit jantung, dan gangguan pernapasan lainnya. Tapi kadang rasanya agak susah buat mikirin itu setiap hari, karena efeknya nggak langsung terasa.

Saya (pewawancara) : Apakah Anda pernah mencoba berhenti merokok? Jika ya, apa yang membuat Anda gagal?

Saron (narasumber) : Pernah sih, beberapa kali. Biasanya gagal karena tekanan teman-teman, atau saya merasa stress dan kebiasaan itu muncul lagi. Kadang juga, saya merasa nggak ada alasan yang cukup kuat buat berhenti, jadi akhirnya saya kembali merokok.

Saya (pewawancara) : Bagaimana Anda membenarkan kebiasaan merokok Anda meskipun mengetahui dampak buruknya)

Saron (narasumber) : Sejujurnya, kadang saya merasa merokok itu semacam cara buat ngilangin stres. Apalagi kalau lagi capek atau banyak masalah, rasanya rokok itu membantu. Saya tahu itu nggak sehat, tapi buat saya, kadang rokok juga jadi semacam pelarian.

Saya (pewawancara) : Bagaimana menurut Anda pandangan orang lain tentang perokok?

Saron (narasumber) : Banyak orang yang pasti nggak suka dengan perokok. Mereka sering menganggap kita egois atau nggak peduli sama kesehatan. Kadang sih saya merasa nggak enak, tapi di sisi lain, ada juga teman-teman yang nggak terlalu peduli dan masih biasa aja.

Saya (pewawancara) : Apakah ada kejadian atau pengalaman yang membuat Anda berpikir serius untuk berhenti merokok? 

Saron (narasumber) : Iya, beberapa kali saya merasa sesak napas atau batuk-batuk terus. Ada satu kejadian di mana saya jalan kaki sebentar eh, langsung ngos-ngosan banget. Itu sih bikin saya mikir keras, tapi belum cukup kuat untuk berhenti total. Mungkin kalau ada kejadian lebih serius lagi, baru saya benar-benar mikir untuk berhenti.


Analisis

Dari percakapan dengan Saron, terlihat jelas adanya disonansi kognitif. Dalam kasus Saron, ia memiliki pengetahuan tentang dampak buruk merokok namun tetap melanjutkan kebiasaan tersebut. 

Konflik Kognitif: Saron mengalami konflik antara pengetahuan tentang dampak buruk merokok (keyakinan kognitif) dengan tindakan merokok (perilaku). 

Strategi Reduksi Disonansi: Saron menggunakan beberapa strategi untuk mengurangi disonansi kognitif, seperti:

  • Menyalahkan faktor eksternal: Misalnya, menyalahkan tekanan teman atau stres sebagai alasan untuk terus merokok.

  • Merasionalisasi perilaku: Membenarkan kebiasaan merokok dengan alasan bahwa rokok membantu menghilangkan stres.

  • Mengupayakan keseimbangan kognitif: Mencoba mencari keseimbangan antara pengetahuan tentang bahaya merokok dengan manfaat yang dirasakan dari merokok.

Kasus Saron menunjukkan betapa kompleksnya masalah merokok. Disonansi kognitif memainkan peran penting dalam mempertahankan kebiasaan merokok, meskipun individu tersebut menyadari dampak buruknya. Untuk membantu individu seperti Saron berhenti merokok, perlu pendekatan yang komprehensif yang mencakup aspek psikologis, sosial, dan medis.


Kesimpulan

Disonansi kognitif pada perokok muncul dari pertentangan antara pengetahuan mereka tentang dampak buruk merokok dengan tindakan mereka yang terus merokok. Ketidaknyamanan psikologis ini mendorong individu untuk mencari cara-cara untuk mengurangi atau menghilangkan disonansi tersebut.

Disonansi kognitif adalah salah satu faktor utama yang mempertahankan kebiasaan merokok. Dengan memahami mekanisme psikologis yang mendasari disonansi kognitif, kita dapat mengembangkan intervensi yang lebih efektif untuk membantu perokok berhenti dan meningkatkan kesehatan mereka.


Daftar Pustaka

Aqila, Fildzah. (2024). Analisis Disonansi Kognitif Pada Perokok Perempuan di Jakarta. Jurnal Ilmu Komunikasi, 8(3), 185-195.

Ardhaniswari, Triworo., Ryansyah, Gusti Aulia., Qotrunnada, Gina Aulia., & Safitri, Dini. (2024). Analisis Disonansi Kognitif Perokok terhadap Produktivitas di Usia Produktif. Jurnal Ilmu Komunikasi, 6(2), 147-164.


0 komentar:

Posting Komentar