Jumat, 01 November 2024

Essay 2 - psikologi inovasi, wawancara disonansi kognitif - Syahrul Rizqi 22310410077

Disonansi Kognitif dan Kebiasaan Minum Alkohol dalam Kehidupan Sosial


Penulis : Syahrul Rizqi 22310410077


 Dosen Pengampu: Dr., Dra. Arundati Shinta, MA.






Disonansi kognitif merupakan kondisi psikologis di mana seseorang mengalami konflik antara keyakinan, nilai, atau sikapnya dengan perilakunya. Ketika seseorang memiliki pandangan yang positif tentang kesehatan atau kesejahteraan, namun terlibat dalam kebiasaan yang bertentangan, seperti minum alkohol secara berlebihan, mereka mungkin merasakan ketidaknyamanan mental. Esai ini mengeksplorasi pengalaman seorang individu, sebut saja Andi, yang mengalami disonansi kognitif antara keinginannya untuk hidup sehat dan kebiasaan minumnya yang didorong oleh tekanan sosial dan kebutuhan untuk berinteraksi. Andi mengakui bahwa ia menyadari dampak buruk minum alkohol bagi kesehatannya. Baginya, menjaga kesehatan adalah bagian penting dari citra diri yang ingin ia bangun, terutama karena ia juga aktif berolahraga. Namun, setiap kali ia berada dalam acara sosial bersama teman-temannya, ia merasa terbawa untuk minum. Dalam wawancara, Andi menjelaskan bahwa minum alkohol adalah kebiasaan umum di lingkungannya, dan menolak minum dalam acara tersebut dapat membuatnya terlihat “berbeda” atau tidak bergaul. Di sini, Andi mengalami disonansi antara keinginannya untuk diterima secara sosial dengan keinginannya untuk menjaga kesehatan pribadi.

 

Ketika Andi mulai merasa tidak nyaman dengan kebiasaannya, ia mencoba merasionalisasi tindakannya sebagai cara untuk mengurangi ketegangan internal yang muncul. Rasionalisasi seperti “Ini hanya sesekali” atau “Saya masih bisa mengontrolnya” menjadi alasan-alasan yang ia gunakan untuk meredakan ketidaknyamanan. Rasionalisasi ini adalah mekanisme umum dalam menghadapi disonansi kognitif, yang membantu seseorang menghindari ketidaknyamanan emosional tanpa harus benar-benar mengubah perilaku mereka. Dalam kasus Andi, meskipun ia menyadari bahwa alasan tersebut hanya untuk menenangkan pikirannya, hal itu tetap memberikan “pembenaran” sementara untuk melanjutkan perilaku minumnya. Namun, setelah efek alkohol mereda, Andi sering kali merasa bersalah atau menyesal. Perasaan ini muncul karena ia tahu bahwa perilaku tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dan tujuan hidupnya. Kadang-kadang, perasaan ini bahkan mendorongnya untuk berjanji pada diri sendiri bahwa ia akan berhenti atau setidaknya mengurangi konsumsi alkohol. Namun, dalam situasi sosial berikutnya, tekanan teman-temannya kembali menggiring Andi pada kebiasaan yang sama. Ini menunjukkan adanya konflik internal antara niat untuk berubah dan dorongan sosial yang kuat untuk mempertahankan kebiasaan tersebut.

 

Disonansi kognitif yang Andi alami juga mencakup aspek ketakutan akan dampak negatif jangka panjang dari kebiasaan tersebut. Di satu sisi, ia tahu bahwa minum alkohol berlebihan dapat menyebabkan berbagai risiko kesehatan, termasuk kerusakan hati dan penurunan kualitas hidup. Namun, di sisi lain, ia merasakan manfaat jangka pendek dari minum alkohol, seperti merasa rileks dan lebih mudah berinteraksi dengan orang lain. Hal ini menciptakan dilema antara fokus pada dampak jangka panjang yang ia ketahui merugikan, dan kenikmatan sesaat yang membuatnya merasa diterima secara sosial. Dari pengalaman Andi, kita bisa melihat bahwa disonansi kognitif dalam konteks kebiasaan minum alkohol adalah persoalan yang kompleks dan tidak mudah diatasi. Konflik antara keinginan untuk hidup sehat dan keinginan untuk diterima oleh lingkungan sosial sering kali berakhir dengan rasionalisasi yang memungkinkan individu untuk mempertahankan perilakunya. Pada akhirnya, disonansi kognitif semacam ini tidak hanya melibatkan konflik internal, tetapi juga tekanan eksternal yang kuat dari lingkungan.

 

 

0 komentar:

Posting Komentar