Jumat, 01 November 2024

Essay 2 Psikologi inovasi Akeng Arbi Putra 22310410130

                        TUGAS ESSAI 2

PSIKOLOGI INOVASI

Dosen Pengampu : Dr., Dra. Arundati Shinta, MA.


Akeng Arbi Putra

22310410130

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PROKLAMASI 45

YOGYAKARTA

NOVEMBER 2024


Disonansi Kognitif pada Seorang Pemabuk Minuman Keras

Dalam psikologi, disonansi kognitif adalah ketidaknyamanan mental yang muncul ketika seseorang memiliki dua keyakinan atau sikap yang saling bertentangan, terutama ketika perilaku seseorang bertentangan dengan kepercayaan atau nilai pribadinya. Untuk memahami fenomena ini lebih dalam, saya melakukan wawancara dengan Bapak Doni (nama disamarkan), seorang pria berusia 35 tahun yang mengakui bahwa ia rutin mengonsumsi minuman keras, meskipun ia menyadari dampak negatif dari kebiasaannya tersebut.

Mengungkap Kepercayaan dan Nilai yang Bertentangan

Saat saya menanyakan alasan di balik kebiasaannya, Bapak Doni dengan jujur mengungkapkan bahwa ia sebenarnya menyadari bahwa minum minuman keras memiliki dampak buruk bagi kesehatannya. "Saya tahu, minuman keras itu tidak baik buat tubuh. Saya sering sakit kepala, lambung saya pun sering terganggu," ucapnya. Pernyataannya menunjukkan adanya kesadaran akan risiko kesehatan, yang bertentangan dengan kebiasaan yang terus dilakukannya. Selain dampak kesehatan, Bapak Doni juga sadar bahwa kebiasaannya ini membebani keuangannya. Ia sering menghabiskan ratusan ribu rupiah dalam satu minggu hanya untuk membeli minuman.

"Saya tahu sebenarnya uang ini bisa saya pakai buat hal-hal lain yang lebih penting," tambahnya. Ia juga mengakui bahwa keluarganya sering mengungkapkan kekhawatiran tentang kebiasaan minumnya, yang membuatnya merasa bersalah. Di sisi lain, ia juga mengaku merasa bahwa minuman keras menjadi pelariannya dari stres pekerjaan dan masalah pribadi yang kerap menghantuinya.

Menemukan Ketidaknyamanan dari Disonansi Kognitif

Menurut Bapak Doni, rasa tidak nyaman mulai muncul ketika keluarganya mulai menegurnya tentang kebiasaan tersebut. "Ada perasaan tidak enak. Saya tahu kalau saya lanjutkan, saya akan terus membuat mereka kecewa. Tapi rasanya sulit berhenti, terutama saat saya merasa tertekan," ucapnya. Di sini, ketidaknyamanan disebabkan oleh benturan antara keyakinan bahwa ia harus menjaga kesehatan dan menjaga hubungan baik dengan keluarga dengan perilaku aktualnya yang bertentangan.

Dalam psikologi, disonansi kognitif bisa mendorong seseorang untuk mengurangi ketidaknyamanan itu dengan menyesuaikan perilaku atau keyakinan. Namun, Bapak Doni mengaku bahwa kebiasaan ini belum bisa ia hentikan sepenuhnya, meskipun ada rasa bersalah. Sebaliknya, ia justru mencoba mencari pembenaran. "Saya bilang pada diri saya sendiri, kalau saya minum untuk menenangkan diri, itu hal yang wajar. Semua orang punya cara masing-masing untuk mengatasi stres, kan?" Alasan ini adalah upaya mengurangi ketidaknyamanan, meskipun ia sebenarnya memahami risiko dan dampak negatif yang dihasilkan.

Kesimpulan

wawancara ini mengungkap bahwa disonansi kognitif merupakan faktor yang signifikan dalam kehidupan Bapak Doni. Kesadaran akan dampak negatif dari minum minuman keras tidak otomatis mendorongnya untuk berhenti; sebaliknya, ia cenderung mencari pembenaran untuk mengurangi ketidaknyamanan dari perilaku yang bertentangan dengan keyakinannya.

Kasus ini memperlihatkan bahwa disonansi kognitif tidak hanya menjadi konflik batin tetapi juga sebuah tantangan psikologis yang memengaruhi cara seseorang menjalani hidupnya. Hasil wawancara ini juga menyoroti bahwa mengatasi disonansi kognitif memerlukan dukungan, baik dalam bentuk lingkungan yang mendukung atau bantuan profesional untuk mengatasi konflik-konflik internal ini.

0 komentar:

Posting Komentar