PSIKOLOGI INOVASI ESAI 2 WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF DOSEN PENGAMPU : Dr., Dra. Arundati Shinta, MA
RISKA NURUL FADILLAH
22310410122
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA
NOVEMBER 2024
“Disonansi Kognitif dalam Kebiasaan Kurang Minum Air Putih pada Penderita Riwayat Penyakit Ginjal”
Pendahuluan
Disonansi kognitif adalah teori psikologis yang dikemukakan oleh Leon Festinger pada tahun 1957. Disonansi kognitif terjadi ketika ada ketidaksesuaian atau konflik antara dua atau lebih keyakinan, sikap, atau tindakan seseorang, yang mengakibatkan ketidaknyamanan psikologis. Ketidaknyamanan ini mendorong individu untuk berusaha mengurangi ketidaksesuaian tersebut dengan cara mengubah keyakinan atau perilakunya, atau dengan mencari pembenaran untuk mempertahankan keyakinannya.
Narasumber
Nama : Riski
Jabatan: mahasiswa
Hasil Wawancara
Riski menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara pengetahuan dan perilaku terkait kebiasaan minum air putih. Meskipun ia mengetahui pentingnya air putih untuk kesehatan ginjal, terutama setelah mengalami masalah ginjal, ia mengakui adanya kontradiksi antara pengetahuan tersebut dan kebiasaan sehari-hari yang terkadang membuatnya lupa atau malas untuk minum air yang cukup. Faktor kesibukan, rasa malas, dan kondisi stres menjadi hambatan utama dalam konsistensi minumnya air putih, meskipun ia memahami risiko dehidrasi terhadap kesehatan ginjal.
Perasaan bersalah dan cemas muncul ketika ia merasakan gejala dehidrasi atau mendengar nasihat medis, yang menunjukkan adanya disonansi kognitif antara pengetahuan dan tindakan. Untuk mengatasi perasaan tersebut, Riski mencoba menggunakan strategi seperti menyiapkan botol air dekat dengan dirinya dan memasang pengingat di ponsel, meskipun konsistensinya masih menjadi tantangan. Faktor lingkungan, seperti teman dan keluarga yang tidak selalu menjaga kebiasaan minum air, juga mempengaruhi kebiasaannya.
Riski menyadari bahwa kebiasaan kurang minum air bisa berbahaya bagi ginjalnya, dan ia mempertimbangkan perubahan kebiasaan meskipun ada hambatan-hambatan tersebut. Disonansi kognitif ini diperburuk oleh stres dan kurangnya dukungan dari lingkungan. Sebagai solusi, Riski menyarankan pentingnya pengingat rutin dan dukungan dari keluarga serta edukasi berkelanjutan mengenai pentingnya air bagi kesehatan ginjal.
Analisis
Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap Riski, terlihat adanya disonansi kognitif yang jelas antara pengetahuan dan perilakunya terkait kebiasaan minum air putih. Disonansi kognitif terjadi ketika seseorang mengetahui informasi yang bertentangan dengan tindakannya, dan Riski mengalami hal ini secara langsung. Meskipun ia memahami betul pentingnya minum air putih untuk menjaga kesehatan ginjal, terutama setelah mengalami masalah ginjal sebelumnya, kebiasaan sehari-hari yang tidak konsisten dalam minum air menunjukkan adanya perbedaan antara pengetahuan dan praktik.
Dalam menghadapi disonansi ini, Riski menyadari bahwa perubahan perilaku menjadi penting demi menjaga kesehatan ginjalnya. Namun, hambatan internal dan eksternal yang ada perlu diatasi untuk mengurangi ketidaksesuaian antara pengetahuan dan perilaku. Solusi yang disarankan oleh Riski, seperti pengingat rutin dan dukungan keluarga, menunjukkan bahwa ia membutuhkan bantuan untuk memperkuat kebiasaan minum air dan mengurangi rasa cemas terkait disonansi kognitif ini. Edukasi berkelanjutan mengenai pentingnya air bagi kesehatan ginjal juga merupakan langkah penting dalam membantu individu seperti Riski untuk lebih konsisten dalam menerapkan pengetahuan mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Secara keseluruhan, analisis ini menunjukkan bagaimana faktor internal dan eksternal dapat saling mempengaruhi dalam menciptakan disonansi kognitif dan menghambat perubahan perilaku, serta pentingnya dukungan sosial dan pengingat yang efektif untuk mengatasi ketidaksesuaian ini.
Kesimpulan
Kesimpulan dari wawancara dengan Riski menunjukkan adanya disonansi kognitif antara pengetahuan dan perilaku terkait kebiasaan minum air putih. Meskipun ia memahami pentingnya air untuk kesehatan ginjal, kebiasaan sehari-harinya sering kali tidak konsisten karena faktor seperti kesibukan, rasa malas, stres, dan pengaruh lingkungan yang kurang mendukung. Riski merasa cemas dan bersalah saat mengalami gejala dehidrasi, namun ia kesulitan mengubah kebiasaan tersebut. Solusi yang dicoba, seperti pengingat dan dukungan dari keluarga, menunjukkan upaya untuk mengatasi hambatan ini, meskipun konsistensinya masih menjadi tantangan. Disarankan agar edukasi berkelanjutan dan dukungan sosial dapat membantu memperbaiki kebiasaan dan mengurangi disonansi kognitif.
Daftar pustaka
Festiger , L . (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford University Press.
Koenig, H. G. (2015). Cognitive Dissonance and Health Behaviors: Implications for Health and Medicine. In Handbook of Religion and Health (pp. 1-12). Oxford University Press.
0 komentar:
Posting Komentar