DISONANSI KOGNITIF
PADA PEROKOK: MEKANISME PSIKOLOGIS DALAM MENGABAIKAN RESIKO KESEHATAN
PSIKOLOGI INOVASI
ESAI 2 – WAWANCARA DISONANSI KOGNITIF
DOSEN PENGAMPU: Dr. Dra. ARUNDATI SHINTA, MA.
AISYAH ZULAINA
223104100067
KELAS KARYAWAN
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45
YOGYAKARTA
OKTOBER 2024
Rokok adalah produk tembakau yang terdiri dari daun tembakau yang telah
dikeringkan, dipotong halus, kemudian digulung dalam kertas tipis. Rokok pada
umumnya mengadung nikotin yang dapat menyebabkan kecanduan sehingga seseorang
sulit untuk berhenti. Selain nikotin sebagai zat adiktif, rokok juga mengadung
bahan kimia berbahaya seperti tar, arsenik dan benzena yang dapat merusak
paru-paru dan organ tubuh lainnya. Rokok juga dikaitkan dengan berbagai masalah
kesehatan seperti penyakit jantung, stroke, pernapasan kronis, dan gangguan
kehamilan. Asap rokok tidak hanya berbahaya bagi perokok saja melainkan juga
dapat berpengaruh pada oeang-orang disekitar yang terpapar oleh asap tersebut,
biasanya dikenal dengan sebutan seconhand smoke. Fenomenanya adalah meskipun
rokok secara terang dan jelas dapat menimbulkan efek negatif bagi tubuh perokok
itu sendiri dan juga seconhand smoke, masih banyak orang-orang tetap melakukan
aktivitas rokok dan tidak dapat berhenti karena sudah kecanduan dan banyak
faktor yang mempengaruhi fenomena tersebut.
Pada kesempatan ini, saya akan membahas tentang disonansi kognitif pada perokok aktif. Saya mendapatkan subjek yang bekerja sebagai barista bernama Ucup (23) yang merupakan seorang perokok aktif. Singkatnya dalam wawancara didapatkan informasi bahwa Ucup mencoba sendiri untuk merokok pada saat dirinya stres berat kala itu. Setelah encoba Ucup merasakan efek perasaan lega dan enjoy. Ucup sangat menerti dan mengetahui bahaya dan dampak yang ditimbulkan dari merokok namun Ucup tetap melanjutkan aktivitas merokoknya. Ucup merasa tidak pernah merasa bertentangan dari pengetahuannya tentang rokok terhadap kebiasaan merokoknya, dikarenakan Ucup berada pada kesadaran penuh dari apa keputusannya. Namun, Ucup pernah melakukan untuk berhenti merokok pada saat ia sedang mendekati seorang perempuan yang ia sukai. Perempuan tersebut memiliki asma dan tidak menyukai laki-laki merokok, namun perempuan tersebut tidak memiliki perasaan yang sama dengan dirinya sehingga dengan adanya rasa penolakan tersebut Ucup melanjutkan kembali kebiasaan merokoknya seperti sebelum mengenal perempuan tersebut.
Selain atas kesadaran penuh yang ia gunakan dalam pengambilan keputusan dan
tindakan, Ucup merasa bahwa dengan merokok membawa efek positif untuk dirinya
namun hal tersebut juga ia sadari bahwa efek tersebut merupaka bagian dari
adiksi yang menyebabkan dirinya dapat membuat kenangan-kenangan palsu. Ucup
juga tidak memiliki perasaan menyesal meskipun ada beberapa orang disekitarnya
mencoba untuk menghentikannya, namun dia tetap percaya diri bahwa tidak ada
orang yang bisa mengehntikannya. Teman sebaya Ucup sebagian ada yang mencoba
menghentikan, ada yang menawarkan selalu, untuk keluarga lebih menyerahkan keputusan
kepada Ucup sendiri. Ucup sendiri lebih akan berhenti merokok ketika
kesehatannya benar-benar menurun.
Hubungan kebiasaan merokok pada Ucup dengan disonansi kognitif berada pada
Ucup yang memiliki pengetahuan rokok namun tetap memilih merokok ditambah
dengan ucapannya “daripada anda mati karena penyakit lain,mendingan mati karena
merokok,karena setidaknya pikiran anda jadi sedikit lebih tenang”
sebagai alibi dengan menyebutkan efek yang dirasakan meskipun mentehaui dampak
negatifnya.
Hal tersebut menjadi dua fakta yang bertentangan untuk mengurangi efek yang ditimbulkan oleh disonansi perokok sering kali menggunakan strategi kognitif seperti merasionalisasikan kebiasaan merokok, meremehkan resiko kesehatan, membandingkan resiko dengan ancaman ain, dan membuat upaya berhenti yang tidak konsisten. Disonansi kognitif ini membuat banyak perokok lebih cenderung melanjutkan kebiasaan mereka daripada mengubah perilaku, meskipun mengetahui konsekuensi kesehatan yang fatal. Beberaa perokok bahkan mungkin lebih merokok sebagai mekanisme untuk mengatasi stres atau kecemasan yang ditimbulkan oleh kesadaran tentang bahaya merokok itu sendiri.
Penelitian tentang
disonansi kognitif dan perilaku merokok menunjukkan bahwa individu sering
mengurangi dionansi dengan mengubah sikap atau pemikiran mereka, bukan perilaku
mereka. Seperti yang dilakukan oleh Ucup, alih-alih untuk berhenti merokok Ucup
lebih memilih mengubah cara pandang tentang rokok dan terhadap resiko kesehatan
atau mengabaikan informasi atau pengetahuan yang ia miliki.
Referensi:
Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Disonance. Stanford
University Press.
McMaster University. (2020). Cognitive Dissonance and Smoking Behavior.
0 komentar:
Posting Komentar