Senin, 04 November 2024

Essay 2 Psikologi Inovasi_Wawancara Disonansi Kognitif_Sillvi Yunia Anggraeni_22310410019

NAMA : SILLVI YUNIA ANGGRAENI

NIM     : 22310410019

MATA KULIAH : PSIKOLOGI INOVASI

DOSEN PENGAMPU : Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA, MA.


Essay 2 Wawancara Disonansi Kognitif

"Keinginan dan Kebiasaan yang Berlawanan: Wawancara tentang Dissonansi Kognitif dalam Proses Menurunkan Berat Badan"

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PROKLAMASI 45

YOGYAKARTA

2024

Pendahuluan

Dissonansi kognitif adalah konsep yang diperkenalkan oleh psikolog sosial Leon Festinger pada tahun 1957, yang menggambarkan ketidaknyamanan mental yang dirasakan seseorang ketika ada ketidaksesuaian antara kepercayaan atau tujuan mereka dengan tindakan yang dilakukan. Dissonansi ini memicu ketidaknyamanan psikologis dan sering kali mendorong seseorang untuk mengubah perilaku atau merasionalisasi tindakan untuk mengurangi ketidaknyamanan tersebut.

Pada kasus ini, dissonansi kognitif dialami oleh seorang individu yang ingin menurunkan berat badan namun tidak mampu menahan keinginan untuk ngemil di malam hari dan enggan berolahraga. Konflik ini membuat individu tersebut mengalami ketidaknyamanan emosional karena menyadari bahwa kebiasaan tersebut bertentangan dengan keinginannya untuk memiliki tubuh yang lebih langsing.

 

Percakapan Wawancara

Ø  Pewawancara (S): Selamat siang, terima kasih telah bersedia meluangkan waktu untuk wawancara ini. Saya ingin berbicara tentang pengalaman Anda terkait dissonansi kognitif yang mungkin Anda alami terkait keinginan untuk menurunkan berat badan. Boleh Anda ceritakan sedikit tentang pengalaman Anda?

Ø  Narasumber (D): Selamat siang. Terima kasih juga atas kesempatannya. Jadi, memang saya sudah lama ingin menurunkan berat badan. Saya merasa lebih percaya diri dan sehat kalau berat badan saya turun. Tapi masalahnya, saya sulit mengontrol kebiasaan ngemil, terutama saat malam hari. Dan sejujurnya, saya kurang suka olahraga.

Ø  Pewawancara (S): Apakah Anda merasa ada konflik atau ketidaknyamanan karena perbedaan antara keinginan Anda dan kebiasaan ngemil tersebut?

Ø  Narasumber (D): Iya, saya sering merasa bersalah setiap kali ngemil malam-malam. Saya sadar kebiasaan itu hanya membuat saya semakin gemuk, bukan mendukung saya untuk langsing. Tapi saat keinginan untuk ngemil datang, sulit sekali untuk menahan.

Ø  Pewawancara (S): Ketika merasa bersalah atau tidak nyaman, apa yang biasanya Anda lakukan?

Ø  Narasumber (D): Kadang-kadang, saya mencoba menenangkan diri dengan berpikir bahwa ngemil bisa mengurangi stres. Saya juga sering berkata pada diri sendiri, "Besok saya mulai diet lagi" atau "nanti saya akan coba olahraga." Tapi pada akhirnya, sering kali besoknya saya mengulang hal yang sama lagi.

Ø  Pewawancara (S): Apakah dukungan atau komentar dari teman dan keluarga juga mempengaruhi Anda dalam menghadapi situasi ini?

Ø  Narasumber (D): Iya, pengaruh mereka besar sekali. Teman-teman dan keluarga sering kali mengingatkan saya untuk mengontrol ngemil dan mulai olahraga. Walaupun maksud mereka baik, kadang saya jadi merasa semakin tertekan dan akhirnya tetap kembali ke kebiasaan ngemil karena stres.

Ø  Pewawancara (S): Apakah Anda memiliki strategi atau rencana untuk mengatasi masalah ini ke depannya?

Ø  Narasumber (D): Saya ingin mencoba langkah-langkah kecil, seperti mengganti camilan malam dengan yang lebih sehat, atau mengurangi porsi camilan. Saya juga berencana mencari aktivitas yang saya sukai agar saya bisa lebih termotivasi untuk bergerak. Saya sadar perlu perubahan, tapi mungkin saya harus mulai perlahan-lahan.

Ø  Pewawancara (S): Terima kasih banyak atas keterbukaan Anda dalam berbagi pengalaman ini. Semoga rencana Anda berhasil dan dapat mendukung keinginan Anda untuk memiliki tubuh yang lebih sehat. Apakah ada pesan yang ingin Anda sampaikan kepada orang lain yang mungkin mengalami situasi serupa?

Ø  Narasumber (D): Saya ingin mengatakan bahwa penting untuk jujur pada diri sendiri dan jangan terlalu keras. Menerima bahwa kita perlu berubah adalah langkah pertama yang besar, dan tidak masalah memulainya sedikit demi sedikit. Saya sendiri masih belajar untuk itu.

Ø  Pewawancara (S): Terima kasih banyak atas waktu dan penjelasan Anda. Semoga wawancara ini bermanfaat bagi orang lain yang mengalami situasi serupa.

Ø  Narasumber (D): Sama-sama, terima kasih juga. Saya berharap wawancara ini bisa membantu banyak orang.

 

Analisis

Dari wawancara ini, terlihat bahwa narasumber mengalami dissonansi kognitif yang kuat antara keinginan menurunkan berat badan dan kebiasaan ngemil pada malam hari serta enggan berolahraga. Keinginan untuk memiliki tubuh yang lebih sehat dan langsing sering kali bentrok dengan kenyataan bahwa ia terus melakukan kebiasaan yang berlawanan dengan tujuan tersebut. Ketidaknyamanan psikologis yang muncul, seperti perasaan bersalah setelah ngemil, adalah tanda dari adanya dissonansi kognitif.

Untuk mengurangi dissonansi, narasumber mencoba membenarkan tindakannya dengan alasan bahwa ngemil bisa mengurangi stres dan selalu menunda olahraga. Strategi pembenaran ini adalah mekanisme yang sering digunakan seseorang untuk mengurangi ketidaknyamanan yang dirasakan, seperti yang dijelaskan dalam penelitian dari Hidayati & Suryani (2019), bahwa individu sering menggunakan rasionalisasi sebagai cara menghadapi dissonansi.

Meskipun narasumber belum berhasil sepenuhnya mengatasi kebiasaannya, ia mulai merancang strategi kecil, seperti mengganti camilan dengan makanan yang lebih sehat dan mencari aktivitas yang menyenangkan. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran terhadap dissonansi yang dialami bisa menjadi motivasi bagi individu untuk mulai merancang perubahan positif.

 

Kesimpulan

Dissonansi kognitif adalah fenomena umum yang terjadi ketika seseorang memiliki tujuan yang tidak sejalan dengan kebiasaan atau perilaku mereka. Dalam kasus ini, narasumber mengalami konflik antara keinginan untuk menurunkan berat badan dan kebiasaan ngemil serta malas berolahraga. Ketidaknyamanan yang muncul akibat dissonansi tersebut mendorong narasumber untuk merasionalisasi perilakunya dan menunda perubahan yang perlu dilakukan.

Namun, dissonansi kognitif juga memiliki sisi positif sebagai pemicu refleksi dan kesadaran diri. Dengan menerima ketidaknyamanan tersebut, narasumber mulai merancang langkah kecil untuk mengubah perilaku yang tidak mendukung pencapaian tujuannya. Dalam situasi serupa, dissonansi kognitif dapat menjadi pemicu bagi perubahan perilaku apabila individu mampu menerima konflik batin dan berkomitmen untuk mengubah perilaku.

 

Daftar Pustaka

·      Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford, CA: Stanford University Press.
·     - Hidayati, R., & Suryani, E. (2019). “Dissonansi Kognitif dan Perubahan Perilaku pada Mahasiswa.”           Jurnal Psikologi Sosial Indonesia, 3(2), 150-159.
·    - Nugraha, H., & Setyowati, D. (2020). “Pengaruh Dissonansi Kognitif terhadap Perilaku Sehat pada             Remaja.” Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental, 4(1), 55-63.
·    - Pramudana, D. A., & Susanti, R. (2018). “Pengaruh Dissonansi Kognitif dalam Pengambilan                       Keputusan di Kalangan Dewasa Muda.” Jurnal Psikologi Udayana, 5(3), 230-240.
·   - Ramdhani, N., & Wijaya, R. (2021). “Analisis Dissonansi Kognitif pada Individu dengan Perilaku            Konsumsi Tidak Sehat.” Jurnal Psikologi Kesehatan, 6(4), 305-312.


0 komentar:

Posting Komentar