NAMA : SILLVI YUNIA ANGGRAENI
NIM : 22310410019
MATA KULIAH : PSIKOLOGI INOVASI
DOSEN PENGAMPU : Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA, MA.
"Keinginan dan Kebiasaan yang Berlawanan: Wawancara tentang Dissonansi Kognitif dalam Proses Menurunkan Berat Badan"
FAKULTAS
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS
PROKLAMASI 45
YOGYAKARTA
2024
Pendahuluan
Dissonansi kognitif
adalah konsep yang diperkenalkan oleh psikolog sosial Leon Festinger pada tahun
1957, yang menggambarkan ketidaknyamanan mental yang dirasakan seseorang ketika
ada ketidaksesuaian antara kepercayaan atau tujuan mereka dengan tindakan yang
dilakukan. Dissonansi ini memicu ketidaknyamanan psikologis dan sering kali
mendorong seseorang untuk mengubah perilaku atau merasionalisasi tindakan untuk
mengurangi ketidaknyamanan tersebut.
Pada kasus ini,
dissonansi kognitif dialami oleh seorang individu yang ingin menurunkan berat
badan namun tidak mampu menahan keinginan untuk ngemil di malam hari dan enggan
berolahraga. Konflik ini membuat individu tersebut mengalami ketidaknyamanan
emosional karena menyadari bahwa kebiasaan tersebut bertentangan dengan
keinginannya untuk memiliki tubuh yang lebih langsing.
Percakapan Wawancara
Ø Pewawancara (S):
Selamat siang, terima kasih telah bersedia meluangkan waktu untuk wawancara
ini. Saya ingin berbicara tentang pengalaman Anda terkait dissonansi kognitif
yang mungkin Anda alami terkait keinginan untuk menurunkan berat badan. Boleh
Anda ceritakan sedikit tentang pengalaman Anda? |
Ø Narasumber (D):
Selamat siang. Terima kasih juga atas kesempatannya. Jadi, memang saya sudah
lama ingin menurunkan berat badan. Saya merasa lebih percaya diri dan sehat
kalau berat badan saya turun. Tapi masalahnya, saya sulit mengontrol
kebiasaan ngemil, terutama saat malam hari. Dan sejujurnya, saya kurang suka
olahraga. |
Ø Pewawancara (S):
Apakah Anda merasa ada konflik atau ketidaknyamanan karena perbedaan antara
keinginan Anda dan kebiasaan ngemil tersebut? |
Ø Narasumber (D):
Iya, saya sering merasa bersalah setiap kali ngemil malam-malam. Saya sadar
kebiasaan itu hanya membuat saya semakin gemuk, bukan mendukung saya untuk
langsing. Tapi saat keinginan untuk ngemil datang, sulit sekali untuk
menahan. |
Ø Pewawancara (S):
Ketika merasa bersalah atau tidak nyaman, apa yang biasanya Anda lakukan? |
Ø Narasumber (D):
Kadang-kadang, saya mencoba menenangkan diri dengan berpikir bahwa ngemil
bisa mengurangi stres. Saya juga sering berkata pada diri sendiri,
"Besok saya mulai diet lagi" atau "nanti saya akan coba
olahraga." Tapi pada akhirnya, sering kali besoknya saya mengulang hal
yang sama lagi. |
Ø Pewawancara (S):
Apakah dukungan atau komentar dari teman dan keluarga juga mempengaruhi Anda
dalam menghadapi situasi ini? |
Ø Narasumber (D):
Iya, pengaruh mereka besar sekali. Teman-teman dan keluarga sering kali
mengingatkan saya untuk mengontrol ngemil dan mulai olahraga. Walaupun maksud
mereka baik, kadang saya jadi merasa semakin tertekan dan akhirnya tetap
kembali ke kebiasaan ngemil karena stres. |
Ø Pewawancara (S):
Apakah Anda memiliki strategi atau rencana untuk mengatasi masalah ini ke
depannya? |
Ø Narasumber (D):
Saya ingin mencoba langkah-langkah kecil, seperti mengganti camilan malam
dengan yang lebih sehat, atau mengurangi porsi camilan. Saya juga berencana
mencari aktivitas yang saya sukai agar saya bisa lebih termotivasi untuk
bergerak. Saya sadar perlu perubahan, tapi mungkin saya harus mulai
perlahan-lahan. |
Ø Pewawancara (S):
Terima kasih banyak atas keterbukaan Anda dalam berbagi pengalaman ini.
Semoga rencana Anda berhasil dan dapat mendukung keinginan Anda untuk
memiliki tubuh yang lebih sehat. Apakah ada pesan yang ingin Anda sampaikan
kepada orang lain yang mungkin mengalami situasi serupa? |
Ø Narasumber (D):
Saya ingin mengatakan bahwa penting untuk jujur pada diri sendiri dan jangan
terlalu keras. Menerima bahwa kita perlu berubah adalah langkah pertama yang
besar, dan tidak masalah memulainya sedikit demi sedikit. Saya sendiri masih
belajar untuk itu. |
Ø Pewawancara (S):
Terima kasih banyak atas waktu dan penjelasan Anda. Semoga wawancara ini
bermanfaat bagi orang lain yang mengalami situasi serupa. |
Ø Narasumber (D):
Sama-sama, terima kasih juga. Saya berharap wawancara ini bisa membantu
banyak orang. |
Analisis
Dari wawancara ini,
terlihat bahwa narasumber mengalami dissonansi kognitif yang kuat antara
keinginan menurunkan berat badan dan kebiasaan ngemil pada malam hari serta
enggan berolahraga. Keinginan untuk memiliki tubuh yang lebih sehat dan
langsing sering kali bentrok dengan kenyataan bahwa ia terus melakukan
kebiasaan yang berlawanan dengan tujuan tersebut. Ketidaknyamanan psikologis
yang muncul, seperti perasaan bersalah setelah ngemil, adalah tanda dari adanya
dissonansi kognitif.
Untuk mengurangi
dissonansi, narasumber mencoba membenarkan tindakannya dengan alasan bahwa
ngemil bisa mengurangi stres dan selalu menunda olahraga. Strategi pembenaran
ini adalah mekanisme yang sering digunakan seseorang untuk mengurangi
ketidaknyamanan yang dirasakan, seperti yang dijelaskan dalam penelitian dari
Hidayati & Suryani (2019), bahwa individu sering menggunakan rasionalisasi
sebagai cara menghadapi dissonansi.
Meskipun narasumber belum
berhasil sepenuhnya mengatasi kebiasaannya, ia mulai merancang strategi kecil,
seperti mengganti camilan dengan makanan yang lebih sehat dan mencari aktivitas
yang menyenangkan. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran terhadap dissonansi yang
dialami bisa menjadi motivasi bagi individu untuk mulai merancang perubahan
positif.
Kesimpulan
Dissonansi kognitif
adalah fenomena umum yang terjadi ketika seseorang memiliki tujuan yang tidak
sejalan dengan kebiasaan atau perilaku mereka. Dalam kasus ini, narasumber
mengalami konflik antara keinginan untuk menurunkan berat badan dan kebiasaan
ngemil serta malas berolahraga. Ketidaknyamanan yang muncul akibat dissonansi
tersebut mendorong narasumber untuk merasionalisasi perilakunya dan menunda
perubahan yang perlu dilakukan.
Namun, dissonansi
kognitif juga memiliki sisi positif sebagai pemicu refleksi dan kesadaran diri.
Dengan menerima ketidaknyamanan tersebut, narasumber mulai merancang langkah
kecil untuk mengubah perilaku yang tidak mendukung pencapaian tujuannya. Dalam situasi
serupa, dissonansi kognitif dapat menjadi pemicu bagi perubahan perilaku
apabila individu mampu menerima konflik batin dan berkomitmen untuk mengubah
perilaku.
Daftar Pustaka
0 komentar:
Posting Komentar