Rabu, 06 November 2024

Essay 2 Wawancara Disonansi Kognitif_Asmi Wati_22310410123

Nama : Asmi Wati
NIM : 22310410123
Matkul : Psikologi Inovasi
Dosen Pengampu : Dr., Dra. Arundati Shinta, M.A
Bulan & Tahun Terbit : November 2024



"DISONANSI KOGNITIF PADA WANITA PEROKOK AKTIF"


 PENDAHULUAN

Di Indonesia, focus intervensi pengendalian tembakau lebih banyak ditunjukan pada perokok laki-laki. Indonesia memang memiliki Tingkat prevalensi perokok laki-laki tertinggi secara global. Namun, tren peningkatan perilaku merokok juga terjadi pada Perempuan. Indonesia bahkan menduduki peringkat ketiga pravelensi perokok Perempuan di Kawasan ASEAN setelah Myanmar dan Laos. Prevalensi perokok aktif di Indonesia terus meningkat. Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan bahwa jumlah perokok aktif diperkirakan mencapai 70 juta orang, dengan 7,4% di antaranya perokok berusia 10-18 tahun. 

Di Indonesia perempuan yang merokok biasanya digambarkan sebagai perempuan yang tidak benar, nakal, terkadang juga amoral. Penggambaran ini dapat kita lihat pada film-film Indonesia dari masa ke masa. Seperti film Taksi di era 90an, Meriam Belina berperan sebagai pekerja seks komersial, yang digambarkan berbaju seksi dan merokok. Kemudian pada film Virgin pada tahun 2004, menggambarkan tiga sosok anak SMA yang “nakal” dan digambarkan dengan merokok. Sebaliknya peenggambaran perempuan berjilbab pada media cenderung positif. Perempuan berjilbab digambarkan sebagai sosok perempuan yang santun, baik dan taat beribadah (Surya, 2004).

Dalam hal ini wanita berjilbab yang merokok dapat dikatakan memiliki disonansi kognitif yaitu perasaan ketidak nyamanan wanita merokok berjilbab karena dia merasa dirinya tidak sesuai dengan apa yang dia sendiri ketahui. Teori psikologi yang dikemukakan oleh Leon Festinger pada tahun 1957 menjelaskan bahwadisonansi kognitif yaitu  ketidaknyamanan psikologis yang dialami seseorang ketika keyakinan, sikap, atau perilaku seseorang tidak selaras.  Melalui teori ini, Festinger menunjukan bahwa setiap orang memiliki dorongan batin untuk menjaga semua sikap dan perilaku tetap selaras serta menghindari ketidakharmonisan (disonansi). Disonansi kognitif tidak terjadi secara otomatis. Artinya, tidak semua orang akan melakukan perubahan saat ada keyakinan dan perilaku berlawanan. Biasanya seseorang harus menyadari bahwa ada persaan tidak nyaman dalam dirinya akibat ketidakselarasan yang terjadi sehingga kemudian melakukan perubahan-perubahan tersebut.

 

ISI

Menurut Festinger (dalam West & Turner, 2008) disonansi kognitif merupakan perasaan yang tidak seimbang yang dimiliki orang ketika mereka menemukan diri mereka sendiri melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui atau mempunyai pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat lain yang mereka pegang.dan melampaui kemampuan ketahanan individu yang bersangkutan. Sumber disonansi kognitif menurut Festinger (dalam Sarwono, 2009) yaitu inkonsitensi logis, nilai budaya, pendapat umum dan pengalaman masa lalu. Upaya-upaya yang mungkin dilakukan individu untuk mengurangi disonansi kognitif menurut Festinger (dalam Sarwono, 2009) yaitu dengan: a) Pengurangan disonansi, melalui 3 kemungkinan cara : Mengubah elemen tingkah laku, Mengubah elemen kognitif lingkungan, Menambah elemen kognitif baru b) Penghindaran disonansi.

Berdasarkan hasil wawancara, mbak nica menyadari bahaya merokok bagi kesehatan. Mbak nica juga menyatakan bahwa ia pernah mencoba untuk berhenti merokok. Namun, ia tetap merokok karena merasa lebih nikmat dan santai, terutama saat sedang banyak pikiran. Mbak nica juga menyatakan bahwa ia merasa sulit untuk mengubah kebiasaan merokoknya karena rokok baginya adalah bentuk penenang. Perilaku mbak nica menunjukkan adanya disonansi kognitif. Ia menyadari bahaya merokok, tetapi tetap merokok. Untuk mengatasi disonansi ini, mbak nica menggunakan beberapa mekanisme pertahanan diri, yaitu:

·         Penyangkalan: mbak nica menyangkal dampak negatif merokok terhadap dirinya dengan menyatakan bahwa merokok tidak mempengaruhi kehidupan sosial atau profesionalnya.

·         Rasionalisasi: mbak nica merasionalisasi perilaku merokoknya dengan menyatakan bahwa rokok adalah bentuk penenang baginya.

·         Penghindaran: mbak nica menghindari informasi yang bertentangan dengan keyakinannya dengan menyatakan "bodo amat" ketika ditanya tentang stigma terhadap perempuan perokok.

 

Disonansi kognitif dapat dihubungkan dengan psikologi inovasi. Orang yang mengalami disonansi kognitif cenderung resisten terhadap perubahan dan inovasi. Mbak nica telah mencoba untuk berhenti merokok, tetapi ia kembali merokok karena merasa sulit untuk mengubah kebiasaan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak terbuka terhadap inovasi dalam gaya hidup sehatnya.

 

KESIMPULAN

 Wawancara ini menunjukkan bahwa disonansi kognitif menjadi hambatan bagi individu dalam mengubah perilaku merokok, seperti yang dialami oleh Mbak Nica. Meskipun ia menyadari bahaya merokok, mekanisme pertahanan diri seperti penyangkalan, rasionalisasi, dan penghindaran memperkuat ketidakselarasan antara pengetahuan dan perilakunya. Selain itu, disonansi kognitif mengindikasikan resistensi terhadap inovasi dalam gaya hidup sehat. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan program intervensi yang tidak hanya menyampaikan informasi tentang bahaya merokok, tetapi juga membantu individu mengatasi disonansi kognitif agar lebih terbuka terhadap perubahan dan mengadopsi gaya hidup yang lebih sehat.

 

Referensi

https://hellosehat.com/mental/mental-lainnya/disonansi-kognitif/?need_sec_link=1&sec_link_scene=im
https://p2ptm.kemkes.go.id/informasi-p2ptm/perokok-aktif-di-indonesia-tembus-70-juta-orang-mayoritas-anak-muda
https://theconversation.com/riset-stigma-negatif-perempuan-perokok-di-indonesia-halangi-usaha-pengendalian-tembakau-224280
salsabila, H. D. (2019). Lokus kendali kesehatan dan disonansi kognitif pada wanita perokok berjilbab. Psikoborneo, 7(3), 351-359.

0 komentar:

Posting Komentar