"DISONANSI KOGNITIF PADA WANITA
PEROKOK AKTIF"
PENDAHULUAN
Di Indonesia, focus intervensi pengendalian tembakau lebih banyak ditunjukan pada perokok laki-laki. Indonesia memang memiliki Tingkat prevalensi perokok laki-laki tertinggi secara global. Namun, tren peningkatan perilaku merokok juga terjadi pada Perempuan. Indonesia bahkan menduduki peringkat ketiga pravelensi perokok Perempuan di Kawasan ASEAN setelah Myanmar dan Laos. Prevalensi perokok aktif di Indonesia terus meningkat. Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan bahwa jumlah perokok aktif diperkirakan mencapai 70 juta orang, dengan 7,4% di antaranya perokok berusia 10-18 tahun.
Di Indonesia perempuan yang merokok biasanya
digambarkan sebagai perempuan yang tidak benar, nakal, terkadang juga amoral.
Penggambaran ini dapat kita lihat pada film-film Indonesia dari masa ke masa.
Seperti film Taksi di era 90an, Meriam Belina berperan sebagai pekerja seks komersial,
yang digambarkan berbaju seksi dan merokok. Kemudian pada film Virgin pada
tahun 2004, menggambarkan tiga sosok anak SMA yang “nakal” dan digambarkan
dengan merokok. Sebaliknya peenggambaran perempuan berjilbab pada media
cenderung positif. Perempuan berjilbab digambarkan sebagai sosok perempuan yang
santun, baik dan taat beribadah (Surya, 2004).
Dalam hal ini wanita berjilbab yang
merokok dapat dikatakan memiliki disonansi kognitif yaitu perasaan ketidak
nyamanan wanita merokok berjilbab karena dia merasa dirinya tidak sesuai dengan
apa yang dia sendiri ketahui. Teori psikologi yang dikemukakan oleh Leon
Festinger pada tahun 1957 menjelaskan bahwadisonansi kognitif yaitu ketidaknyamanan psikologis yang dialami
seseorang ketika keyakinan, sikap, atau perilaku seseorang tidak selaras. Melalui teori ini, Festinger menunjukan bahwa
setiap orang memiliki dorongan batin untuk menjaga semua sikap dan perilaku
tetap selaras serta menghindari ketidakharmonisan (disonansi). Disonansi kognitif
tidak terjadi secara otomatis. Artinya, tidak semua orang akan melakukan
perubahan saat ada keyakinan dan perilaku berlawanan. Biasanya seseorang harus
menyadari bahwa ada persaan tidak nyaman dalam dirinya akibat ketidakselarasan
yang terjadi sehingga kemudian melakukan perubahan-perubahan tersebut.
ISI
Menurut Festinger (dalam West &
Turner, 2008) disonansi kognitif merupakan perasaan yang tidak seimbang yang
dimiliki orang ketika mereka menemukan diri mereka sendiri melakukan sesuatu yang
tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui atau mempunyai pendapat yang tidak
sesuai dengan pendapat lain yang mereka pegang.dan melampaui kemampuan
ketahanan individu yang bersangkutan. Sumber disonansi kognitif menurut
Festinger (dalam Sarwono, 2009) yaitu inkonsitensi logis, nilai budaya,
pendapat umum dan pengalaman masa lalu. Upaya-upaya yang mungkin dilakukan individu
untuk mengurangi disonansi kognitif menurut Festinger (dalam Sarwono, 2009)
yaitu dengan: a) Pengurangan disonansi, melalui 3 kemungkinan cara : Mengubah
elemen tingkah laku, Mengubah elemen kognitif lingkungan, Menambah elemen
kognitif baru b) Penghindaran disonansi.
Berdasarkan hasil wawancara, mbak
nica menyadari bahaya merokok bagi kesehatan. Mbak nica juga menyatakan bahwa
ia pernah mencoba untuk berhenti merokok. Namun, ia tetap merokok karena merasa
lebih nikmat dan santai, terutama saat sedang banyak pikiran. Mbak nica juga
menyatakan bahwa ia merasa sulit untuk mengubah kebiasaan merokoknya karena
rokok baginya adalah bentuk penenang. Perilaku mbak nica menunjukkan adanya
disonansi kognitif. Ia menyadari bahaya merokok, tetapi tetap merokok. Untuk
mengatasi disonansi ini, mbak nica menggunakan beberapa mekanisme pertahanan
diri, yaitu:
·
Penyangkalan: mbak
nica menyangkal dampak negatif merokok terhadap dirinya dengan menyatakan bahwa
merokok tidak mempengaruhi kehidupan sosial atau profesionalnya.
·
Rasionalisasi:
mbak nica merasionalisasi perilaku merokoknya dengan menyatakan bahwa rokok
adalah bentuk penenang baginya.
·
Penghindaran: mbak
nica menghindari informasi yang bertentangan dengan keyakinannya dengan
menyatakan "bodo amat" ketika ditanya tentang stigma terhadap
perempuan perokok.
Disonansi kognitif dapat dihubungkan dengan psikologi
inovasi. Orang yang mengalami disonansi kognitif cenderung resisten terhadap
perubahan dan inovasi. Mbak nica telah mencoba untuk berhenti merokok, tetapi
ia kembali merokok karena merasa sulit untuk mengubah kebiasaan tersebut. Hal
ini menunjukkan bahwa ia tidak terbuka terhadap inovasi dalam gaya hidup
sehatnya.
KESIMPULAN
Wawancara ini
menunjukkan bahwa disonansi kognitif menjadi hambatan bagi individu dalam
mengubah perilaku merokok, seperti yang dialami oleh Mbak Nica. Meskipun ia
menyadari bahaya merokok, mekanisme pertahanan diri seperti penyangkalan,
rasionalisasi, dan penghindaran memperkuat ketidakselarasan antara pengetahuan
dan perilakunya. Selain itu, disonansi kognitif mengindikasikan resistensi
terhadap inovasi dalam gaya hidup sehat. Oleh karena itu, penting untuk
mengembangkan program intervensi yang tidak hanya menyampaikan informasi
tentang bahaya merokok, tetapi juga membantu individu mengatasi disonansi
kognitif agar lebih terbuka terhadap perubahan dan mengadopsi gaya hidup yang
lebih sehat.
0 komentar:
Posting Komentar