ESAI 2-WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF
PSIKOLOGI INOVASI
DOSEN PENGAMPU: Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA, MA.
DISONANSI KOGNITIF
PADA IBU RUMAH TANGGA YANG MEROKOK
NIM 22310410034
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PROKLAMASI 45
YOGYAKARTA
September 2024
Teori Disonansi Kognitif diperkenalkan
oleh Leon Festinger (1957), dan boleh dibilang, teori klasik ini masih relevan
hingga saat ini. Festinger menjelaskan bahwa disonansi kognitif terjadi setiap kali
orang dihadapkan dengan fakta yang bertentangan dengan keyakinan, nilai, dan
ide mereka; mereka akan berusaha menemukan cara untuk menyelesaikan kontradiksi
tersebut guna mengurangi ketidaknyamanan mereka. Teori ini berlaku untuk semua
situasi sosial yang melibatkan pembentukan dan perubahan sikap manusia, dan
khususnya relevan dengan proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.
Relevansi teori ini masih tercermin hingga saat ini di era Internet-of-Things
(IoT). Informasi yang berlebihan dan paparan pendapat yang saling bertentangan
di Internet membawa orang ke kondisi kelelahan mental di mana mereka menjadi
bingung untuk mencari informasi yang tepat dan dapat mengakibatkan konflik
sosial dan psikologis (Yahya&Sukmayadi, 2020).
Disonansi kognitif lebih mudah ditemukan
pada perokok, seperti yang dialami R. R adalah seorang ibu rumah tangga yang
sehari-hari berdagang makanan dan minuman di teras rumahnya. R seorang janda
dengan empat orang anak. Keempat anaknya telah dewasa dan bekerja di berbagai
daerah. Saat ini R tinggal bersama adiknya yang juga seorang janda dan tinggal
berjauhan dengan anak-anaknya.
Pada tanggal 3 Oktober 2024 saya melakukan
wawancara dengan R di rumah R. Saya dapatkan R adalah seorang perokok aktif dan
ia merokok karena merasa sudah menjadi kebiasaan yang sulit dihentikan. R
merokok sejak tahun 1995 hingga sekarang. R merokok setiap hari dengan
membelinya di warung atau toko terdekat. Setiap hari R menghabiskan 6-10 batang
rokok. Menurut informasi yang saya dapatkan, ayah R adalah seorang perokok
’berat’ dan sering merokok dimanapun berada. Namun menurut R yang paling
mempengaruhinya untuk merokok pertama kali adalah temannya saat remaja.
Anak-anak R sering melarang R untuk merokok karena mengkhawatirkan kesehatan R.
Dari hasil wawancara dengan R, sebetulnya R sudah mengetahui bahaya merokok
lewat gambar pada kemasan rokok, iklan-iklan edukatif di media cetak, media
elektronik, dan media sosial, namun R merasa tidak pernah merasakan sakit
akibat merokok, bahkan ketika dalam keadaan sakit-pun, R akan tetap merokok.
Dalam wawancara lebih lanjut, R pernah mencoba berhenti merokok dengan makan
permen, namun tidak berlangsung lama karena R tidak suka permen. R juga bisa
menyebutkan bahaya akibat akibat merokok adalah sakit paru-paru, jantung,
tumor, dan membahayakan kehamilan, namun kebiasaan merokok-nya R, ia anggap
sebagai pengisi kekosongan pikiran dan teman di kala sepi.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut
diatas ditemukan masalah bahwa R sudah mengetahui bahaya merokok namun R
memilih tetap merokok setiap hari. Hal ini memunculkan disonansi, dimana R
terlibat dalam perilaku yang tidak konsisten dengan keyakinan/pengetahuannya. R
merasa bahwa kebiasaannya tersebut tidak berdampak negatif pada tubuhnya. R
berpendapat apabila R sakit, penyebabnya bukanlah dari kebiasaan merokok. Festinger
mengemukakan tiga metode untuk mengurangi disonasi, yaitu dengan mengubah
elemen perilaku, mengubah lingkungan untuk memvalidasi perilakunya, dan menambah
elemen kognitifnya (Ambar, 2017).
Daftar
Pustaka
Yahya,
A.H.&Sukmayadi,V. (2020). A Review of Cognitive Dissonance Theory and
Its Relevance to Current Social Issues. MIMBAR, Vol. 36 No. 2nd (2020) pp.
480-488. file:///C:/Users/LENOVO/Downloads/reviewofcognitivedissonancetheory.pdf
Ambar
(2017). Teori Disonansi Kognitif – Asumsi – Konsep – Kritik.
PakarKomunikasi.com. https://pakarkomunikasi.com/teori-disonansi-kognitif
0 komentar:
Posting Komentar