Minggu, 06 Oktober 2024

 

ESAI 2-WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF

PSIKOLOGI INOVASI

DOSEN PENGAMPU: Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA, MA.

 

DISONANSI KOGNITIF

PADA IBU RUMAH TANGGA YANG MEROKOK

Diana Widiastuti

NIM 22310410034

 

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PROKLAMASI 45

YOGYAKARTA

September 2024

 

 

Teori Disonansi Kognitif diperkenalkan oleh Leon Festinger (1957), dan boleh dibilang, teori klasik ini masih relevan hingga saat ini. Festinger menjelaskan bahwa disonansi kognitif terjadi setiap kali orang dihadapkan dengan fakta yang bertentangan dengan keyakinan, nilai, dan ide mereka; mereka akan berusaha menemukan cara untuk menyelesaikan kontradiksi tersebut guna mengurangi ketidaknyamanan mereka. Teori ini berlaku untuk semua situasi sosial yang melibatkan pembentukan dan perubahan sikap manusia, dan khususnya relevan dengan proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah. Relevansi teori ini masih tercermin hingga saat ini di era Internet-of-Things (IoT). Informasi yang berlebihan dan paparan pendapat yang saling bertentangan di Internet membawa orang ke kondisi kelelahan mental di mana mereka menjadi bingung untuk mencari informasi yang tepat dan dapat mengakibatkan konflik sosial dan psikologis (Yahya&Sukmayadi, 2020).

Disonansi kognitif lebih mudah ditemukan pada perokok, seperti yang dialami R. R adalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari berdagang makanan dan minuman di teras rumahnya. R seorang janda dengan empat orang anak. Keempat anaknya telah dewasa dan bekerja di berbagai daerah. Saat ini R tinggal bersama adiknya yang juga seorang janda dan tinggal berjauhan dengan anak-anaknya.

Pada tanggal 3 Oktober 2024 saya melakukan wawancara dengan R di rumah R. Saya dapatkan R adalah seorang perokok aktif dan ia merokok karena merasa sudah menjadi kebiasaan yang sulit dihentikan. R merokok sejak tahun 1995 hingga sekarang. R merokok setiap hari dengan membelinya di warung atau toko terdekat. Setiap hari R menghabiskan 6-10 batang rokok. Menurut informasi yang saya dapatkan, ayah R adalah seorang perokok ’berat’ dan sering merokok dimanapun berada. Namun menurut R yang paling mempengaruhinya untuk merokok pertama kali adalah temannya saat remaja. Anak-anak R sering melarang R untuk merokok karena mengkhawatirkan kesehatan R. Dari hasil wawancara dengan R, sebetulnya R sudah mengetahui bahaya merokok lewat gambar pada kemasan rokok, iklan-iklan edukatif di media cetak, media elektronik, dan media sosial, namun R merasa tidak pernah merasakan sakit akibat merokok, bahkan ketika dalam keadaan sakit-pun, R akan tetap merokok. Dalam wawancara lebih lanjut, R pernah mencoba berhenti merokok dengan makan permen, namun tidak berlangsung lama karena R tidak suka permen. R juga bisa menyebutkan bahaya akibat akibat merokok adalah sakit paru-paru, jantung, tumor, dan membahayakan kehamilan, namun kebiasaan merokok-nya R, ia anggap sebagai pengisi kekosongan pikiran dan teman di kala sepi.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut diatas ditemukan masalah bahwa R sudah mengetahui bahaya merokok namun R memilih tetap merokok setiap hari. Hal ini memunculkan disonansi, dimana R terlibat dalam perilaku yang tidak konsisten dengan keyakinan/pengetahuannya. R merasa bahwa kebiasaannya tersebut tidak berdampak negatif pada tubuhnya. R berpendapat apabila R sakit, penyebabnya bukanlah dari kebiasaan merokok. Festinger mengemukakan tiga metode untuk mengurangi disonasi, yaitu dengan mengubah elemen perilaku, mengubah lingkungan untuk memvalidasi perilakunya, dan menambah elemen kognitifnya (Ambar, 2017).

 

 

Daftar Pustaka

Yahya, A.H.&Sukmayadi,V. (2020). A Review of Cognitive Dissonance Theory and Its Relevance to Current Social Issues. MIMBAR, Vol. 36 No. 2nd (2020) pp. 480-488. file:///C:/Users/LENOVO/Downloads/reviewofcognitivedissonancetheory.pdf

Ambar (2017). Teori Disonansi Kognitif – Asumsi – Konsep – Kritik. PakarKomunikasi.com. https://pakarkomunikasi.com/teori-disonansi-kognitif



0 komentar:

Posting Komentar