PERSEPSI
PERILAKU MEMBANGKANG PADA PERATURAN
DAN
PERANAN CSR UNILEVER
Psikologi
Lingkungan Essay Ujian Akhir Semester
Dosen Pengampu: Dr., Dra. Arundati Shinta MA
AISYAH
ZULAINA
22310410067
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Ilustrasi
Buang Sampah Sembarangan
Semakin
banyak penduduk, semakin banyak sampah yang dihasilkan sehingga TPA dan TPST
cepat penuh. Untuk mengatur perilaku masyarakat agar mereka peduli dengan
sampahnya serta mau mengelolanya, maka muncul peraturan UU No. 18 Tahun 2008
Tentang Pengelolaan Sampah. Namun, masyarakat tidak semua menjalankan perintah
perUU tersebut dan terkesan “membangkang”. Lalu bagaimana peilaku “membangkang”
itu dapat dijelaskan melalui persepsi masyarakat terhadap perilaku mereka dari
aspek social budaya? Mari kita simak pada gambar dibawah ini.
Gambar
Skema Persepsi Terhadap Lingkungan
Melalui
gambar diatas, kita dapat menguraikan satu per satu akan persepsi masyarakat
yang membangkang. Dimulai dari Kotak ke-1 ada Individu, yakni diri kita
sendiri. Lanjut kotak ke-2 ada objek fisik, fenomena yang dapat kita amati atau
lihat, seperti timbunan sampah yang bersumber dari Rumah Tangga, dan lain
sebagainya. Dari timbulan sampah tersebut, akan menimbulkan persepsi yang
berada pada Kotak ke-3. Dalam buku Psikologi Umum karya Sumanto tertulis bahwa
persepsi adalah proses pemahaman atau pemberian makna atas suatu informasi terhadap
stimulus. Dalam proses persepsi banyak dipengaruhi oleh factor-faktor seperti
Lingkungan/Budaya, Pengalaman/Pembelajaran, dan Nilai yang dipegang serta Pengetahuan.
Sehingga dari timbunan sampah tersebuh akan memunculkan sebuah persepsi seperti
mengganggu pemandangan, mendatangkan bau tidak sedap, mendatangkan banjir,
mendatangkan penyakit dan mampu mencemari lingkungan sekitar. Apabila timbunan
sampah tersebut masih dalam batas normal, tidak menimbukan rasa negative yang
berlebih masuk pada Kotak ke-4 dan menimbulkan situasi yang konstan dan stabil
pada Kotak ke-5 yakni homeostatis. Berbeda lagi ketika dalam proses persepsi
terhadap timbunan sampah itu sudah melebihi batas wajar, yakni masuk pada kotak
ke-6. Individu tidak dapat lagi mengelola sampah yang sudah terlanjur tertimbun
itu sehingga timbulah Stres masuk pada kotak ke-7. Stres itu dapat timbul
seperti dari kejadian yang biasanya mendapati timbunan sampah dalam batas wajar
dan mampu mengelola sampah tersebut. Namun, pada lain kesempatan, individu
tidak lagi mampu mengelola sampah sehingga timbulah stress yang berlebih.
Individu yang stress karena timbunan sampah dan tidak mampu mengolahnya
akhirnya memilih untuk membuang sampah sembarang, tidak memilah milih sampah,
tidak menerapkan prinsip 3R sampah, sehingga membangkang terhadap perturan yang
telah dibuat. Dari stress kita menuju ke Kotak-8 yaitu coping. Dengan melakukan
strategi coping mechanism, jika berhasil kita akan mampu berada disituasi
mengubah diri atau lingkungan dengan perilaku yang didasari dari persepsi yang
positif terhadap timbunan sampah, menganggap sambah sebagai barang yang masih
dapat didaur ulang sehingga masuk pada Kotak ke-9. Setelahnya ke Kotak ke-10
efek lanjutan, perilaku yang berhasil tadi akan diteruskan selalu ketika
berhadapan pada objek ke-2. Sedangkan, jika coping tidak berhasil maka stress
akan berkelanjutan dan ini akan mempengaruhi persepsi semakin buruk jika stress
berkelanjutan itu berhadapan dengan Kotak ke-2. Permaslaahan yang biasanya
terjadi yakni masyarakat gagal dalam menjalankan copingnya sehingga tidak dapat
ke tahap adaptasi.
Gambar
Piramida Carroll
Tanggung
jawab social perusahan (CSR) sebagaimana didefinisikan berdasarkan Piramida
Carroll terdapat tanggug jawab ekonomi, tanggung jawab hukum, tanggung jawab
etika, dan tanggung jawab filantropis. Peranan Unilever terhadap pembinaan bank
sampah di masyarakat termasuk dalam program CSR. Dari program tersebut tersebut
segala aspek berdasar Piramida Carroll dapat dengan mudah diperoleh oleh
Unilever. Dengan banyaknya bank sampah yang difasilitasi oleh Unilever,
masyarakat akan dengan mudah mengenal produk yang dihasilkan oleh Unilever,
sehingga secara ekonomi dapat dipertanggungjawabkan. Program tersebut juga
membantu pemerintah daerah dan sesuai dengan UU yang berlaku di Indonesia. Secara
tanggung jawab etis, Unilever dapat mendorong masyarakat untuk peduli pada
sampahnya sendiri dan sekitar melalui pembinaan bank sampah. Terakhir, ada
tanggungjawab filantropis, pembinaan bank sampah dengan memberikan fasilitas ke
bank sampah sebagai wujud sumbangan dari Perusahaan. Permasalahannya adalah,
bisnis tetaplah bisnis. Perusahaan tetap mencari keuntungan sebesar-besarnya
dengan pengeluaran yang sedikit-dikitnya. Sehingga program csr tersebut selain
sebagai wujud dalam bentuk CSR juga sebagai ajang promosi pada produk dari
Unilever.
Referensi:
Shinta,
A. (2013). Persepsi Terhadap Lingkungan. Kup45iana.
https://kupasiana.psikologiup45.com/2013/04/persepsi-terhadap-lingkungan.html
0 komentar:
Posting Komentar