Persepsi Pembangkangan terhadap UU Pengelolaan Sampah vs Peran Unilever Digadang sebagai Penutup Masalah Menyampah
Essay Demi Memenuhi Ujian Akhir Semester
Psikologi Lingkungan
Septi Iing Hijjriyah
22310410132
Dosen Pengampu: Dr., Dra. Arundati Shinta, MA.
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Lagi-lagi, jika membuka topik perbincangan terkait sampah dan
segala drama di dalamnya seakan hal itu terus berkepanjangan, tiada habisnya,
dan tak ada ujungnya. Sesuai dengan yang tercatat dalam hasil kajian dari
Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) dan Asosiasi Sampah Padat
Internasional (ISWA), bahwa terdapat tiga problem mendasar penanganan
sampah di Indonesia, yaitu minimnya penegakan hukum, rendahnya anggaran
pengelolaan, dan tidak adanya panduan kemitraan. Kemudian tiga hal tadi
dikaitkan kembali dengan persepsi yang lahir di tengah masyarakat. Namanya juga
isu, tentu ada yang pro, ada juga yang kontra. Tak ayal jika seandainya
ada gerakan Go Green atau peduli lingkungan, sebagian mereka ada yang
lebih aware, sebagian lainnya lagi acuh bahkan mencibir dengan alibi tak
ada guna, buang-buang waktu saja, tidak ada hasil konkret. Padahal tidak
seharusnya ditelan begitu saja karena ini soal manifestasi anak-cucu di masa
yang akan datang. Perbedaan persepsi yang lahir di atas merupakan buah dari kemampuan
stimulus yang diterima tiap-tiap individu pun punya daya tampung yang
berbeda-beda.
Isu ini tidak berhenti di
situ saja, dari beberapa problem mendasar tadi, kelompok yang kontra tentu
akan melakukan gerakan pembangkangan dari gerakan yang diluncurkan oleh
kelompok yang lebih aware terhadap lingkungan tadi. Berbagai aksi membangkang
mereka gencatkan, seperti tetap membuang sampah sembarangan, ke sungai,
jalan, bahkan mirisnya lagi mereka memilih untuk membakar sampahnya. Aksi pembangkangan
di atas merupakan salah sebuah pelanggaran dari penetapan UU Nomor 18 Tahunn
2008 tentang pengelolaan sampah. Kemudian, apa korelasi antara aksi pelanggaran
UU pengelolaan sampah dengan persepsi? Baik, begini opininya.
Jika persepsi merupakan proses kognitif, maka lahirnya aksi pro dan
kontra merupakan hasil dari proses kognitif tadi. Untuk bisa sampah pada
hasil, tentu semuanya harus melalui sebuah proses panjang terlebih dahulu. Jika
kita kembalikan pada isu yang tengah kita bahas di atas, maka tentu, seseorang
harus mengenal objek untuk berinteraksi sepenuhnya dengan lingkungan mereka. Tapi
bagaimana lah akan lahir persepsi pro, jika salah satu problem mendasarnya
saja sangat minim adanya panduan kemitraan. Proses panjang dari sebuah persepsi
sampai akhirnya dapat melahirkan sebuah tindakan atau perilaku juga dapat
diilustrasikan melalui skema, sebagai berikut.
Ada beberapa hal yang dapat melatar belakangi lahirnya sebuah
persepsi, salah satunya yaitu sistem sosial atau teori sosial yang dipopulerkan
oleh Weber dalam konsep fenomenologi. Konsep ini membuka analisis terhadap
pemahaman interpretatif (Interpretative Understanding) dalam Sosiologi,
di mana setiap perilaku manusia didasarkan atas pemahaman/persepsinya tentang
sesuatu. Selain itu, ada juga Proposisi Nilai, dari Romans dan Peter Blau yang
menjelaskan bahwa semakin bermanfaat hasil tindakan seseorang bagi dirinya maka
akan semakin besar kemungkinan tindakan tersebut diulangi; dan mendukung pula
dari teori Perilaku Sosial dari B.F. Skinner bahwa perilaku masyarakat lahir
juga akibat adanya pengaruh dari mana masyarakat itu berada atau bernaung, artinya
faktor eksternal atau faktor lingkungan menimbulkan perubahan tingkah laku.
Nah, dari sana bisa diambil hipotesa bahwa bisa saja kelompok kontra
tadi memilih untuk membangkang karena memang minimnya sistem sosial tadi. Bisa
karena minimnya pengenalan atau sosialisasi terkait pengelolaan sampah,
mengingat persepsi dan perilaku yang positif/pro lingkungan tadi akan
terbentuk jika dilakukan pengenalan atau sosialisasi di tengah masyarakat
secara berulang.
Wujud sosialisasi yang dimaksud di atas tentu beragam, salah
satunya yaitu berupa aksi melakukan pembinaan bank sampah, seperti yang
dilakukan oleh salah satu perusahaan Unilever. Peranan yang perusahaan tersebut
lakukan diberi nama program Green and
Clean. Di mana tujuan program tersebut yakni berusaha membantu menangani
lingkungan, serta mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian
lingkungan dalam isu sampah, emisi gas, dan penghematan air. Program ini telah
dijalankan di Kota Surabaya, Jakarta, dan Yogyakarta. Selain keterampilan yang
diperoleh oleh masyarakat, juga membantu meningkatkan kebersihan 18
wilayah-wilayah yang kumuh atau kotor, meingkatkan penghijaun, serta masyarakat
semakin sadar akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan serta kemandirian
masyarakat dalam memilah sampah, yang saat ini sudah diterapkan di
negara-negara maju seperti Jepang merupakan buah dari diterapkannya program ini.
Selain itu, Unilever Indonesia juga membantu meningkatkan kapasitas
pengumpulan dan pengelolaan sampah di dua fasilitas Refuse Derived Fuel
(RDF) yang didukung oleh KLHK RI, yang turut mendorong pemanfaatan sampah
sebagai sumber energi.
Kendati demikian, peranan Unilever tadi tentu ada kaitannya nih
dengan istilah tidak ada yang gratis di dunia ini. Hal ini dapat
diperkuat melalui korelasi antara perusahaan Multinastional Corporation (MNC)
ini dengan Piramida Carroll.
Penjelasannya sebagai berikut.
A. Tanggung
Jawab Ekonomis
Kata kuncinya
adalah make a profit. Motif utama perusahaan adalah menghasilkan
laba. Laba adalah fondasi perusahaan. Perusahaan harus memiliki nilai tambahan
ekonomi sebagai prasyarat agar perusahaan dapat terus hidup (survive) dan
berkembang. Tentu, hal ini akan diterapkan oleh Unilever untuk menggaet lebih
banyak keuntungan, termasuk mengais empati masyarakat karena dinilai telah
melahirkan sesuatu yang dianggap membawa kebermanfaatan di tengah problematika
sampah tadi.
B. Tanggung
Jawab Legal
Kata
kuncinya obey the law. Perusahaan harus taat hukum. Dalam proses mencari
laba, perusahaan tidak boleh melanggar kebijakan dan hukum yang telah
ditetapkan pemerintah. Kendati tengah mengejar untung, Unilever tetap tidak
melanggar hukum khusus untuk isu ini. Namun di sisi lain, kini mereka berpihak
pada sekelompok manusia yang tidak beradab.
C. Tanggung
Jawab Etis
Kata
kuncinya be ethical. Perusahaan Unilever memiliki kewajiban untuk
menjalankan praktek bisnis yang baik, benar, adil, dan fair. Norma-norma
masyarakat perlu menjadi rujukan bagi perilaku organisasi perusahaan tersebut. Jadi,
dapat dikatakan bahwa segala proses penerapan yang akan mereka berikan akan
disesuaikan dengan norma dan nilai moral yang melekat pada masyarakat setempat.
D. Tanggung
Jawab Filantropis
Kata kuncinya be
a good citizen. Selain perusahaan harus memperoleh laba, taat hukum, dan
berperilaku etis, perusahaan dituntut agar dapat memberi kontribusi yang dapat
dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan
kualitas kehidupan semua. Para pemilik dan pegawai yang bekerja di perusahaan Unilever
memiliki tanggung jawab ganda, yakni kepada perusahaan dan kepada publik yang
kini dikenal dengan istilah non fiduciary responsibility.
Harapannya, sekompleks apapun urusan
menyampah di Indonesia, seiring berjalannya masa semoga persepsi yang lahir
akan tetap baik dan kuat demi manifestasi lingkungan yang lebih baik di masa
yang akan datang.
Daftar Pustaka
Simarmata,
Nikita. (2018). Skripsi Pengaruh Persepsi dan Perilaku Terhadap Partisipasi
Masyarakat pada Pengelolaan Bank Sampah di Kecamatan Batu Aji. Program Studi
Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universita Putera Batam.
Primantoro,
Agustinus Yoga. (2023). Artikel Tiga Permasalahn Mendasar Sampah yang Tidak
Kunjung Selesai. Kompas.
Anonim. Bright
Future Unilever. n.d.
https://brightfuture.unilever.co.id/stories/475472/Mengenal-ApaItu-Bank-Sampah.aspx
(accessed September 22, 2015).
Anonim.
Unilever Indonesia. n.d. https://www.unilever.co.id/sustainable-living/
(accessed Agustus 28, 2016).
Bungin Burhan. Analisis
Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Model
Aplikasi. Jakarta. PT. Grafindo Persada, 2003.
Chang, William,
Moral Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kani sius, 2001.
Kodoatie, Robert, dkk. Pengelolaan Sumber Daya Air Dalam Otonomi Daerah. Yogyakarta: Andi, 2002.
0 komentar:
Posting Komentar