PRESEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENGELOLAAN SAMPAH
Essay UAS
Psikologi Lingkungan
Desen
Pengampu: Dr. Dra. Arundati Shinta, M.A.
MICO ALAN SEBASTIAN
22310410013
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMSI 45 YOGYAKARTA
Soal I
Tantangan Sosial Budaya dalam Pengelolaan Sampah di
Kota-kota Besar Indonesia: Sebuah Analisis Psikologis
Yogyakarta dan banyak kota besar di
Indonesia saat ini menghadapi masalah serius akibat jumlah sampah yang terus
meningkat. Meskipun Pemerintah Daerah telah mendirikan Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) dan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), tetapi sistem pengolahannya
cenderung tidak efektif, menyebabkan sampah terus berlimpah (open dumping).
Semakin banyak penduduk, semakin banyak pula sampah yang dihasilkan, dan TPA
serta TPST cepat penuh. Walaupun sudah ada Undang-undang No. 18 Tahun 2008
Tentang Pengolahan Sampah, masyarakat tampak enggan melaksanakan perintah
undang-undang tersebut. Dalam konteks ini, kita perlu menjelaskan hubungan
antara persepsi masyarakat dan perilaku mereka yang sering membangkang terhadap
perintah undang-undang pengelolaan sampah.
Dalam bagan skema persepsi yang
dikemukakan oleh Paul A. Bell dan kawan-kawan (dalam Sarwono, 1995). berikut,
konteks diskusi mengenai persepsi terhadap lingkungan hidup, fokus utama adalah
pada coping behavior atau upaya individu dalam mengatasi stres yang timbul
akibat situasi lingkungan hidup yang tidak nyaman. Memahami perilaku mengatasi
stres ini memiliki signifikansi penting dalam berbagi pengalaman, sehingga kita
dapat bersama-sama merumuskan alternatif pemikiran ketika dihadapkan pada
keterbatasan akibat ketidaknyamanan lingkungan sekitar.
Sebagai calon sarjana Psikologi dari UP45, kita dapat memahami fenomena ini melalui lensa psikologi sosial budaya. Perilaku masyarakat yang enggan melaksanakan perintah UU No. 18 Tahun 2008 dapat dijelaskan melalui persepsi mereka terhadap pengelolaan sampah.
- Persepsi terhadap Pengelolaan
Sampah
Persepsi masyarakat terhadap
pengelolaan sampah dapat bervariasi tergantung pada faktor-faktor tertentu.
Masyarakat yang tidak melaksanakan perintah undang-undang mungkin memiliki
persepsi bahwa pengelolaan sampah tidak relevan atau kurang mendesak. Mereka
mungkin merasa bahwa sampah yang dihasilkan adalah masalah kecil jika
dibandingkan dengan masalah sosial atau ekonomi lainnya.
- Faktor Psikologis dalam
Pembangkangan
Pembangkangan terhadap perintah
undang-undang dapat dijelaskan melalui faktor-faktor psikologis seperti
resistansi terhadap perubahan. Masyarakat mungkin merasa nyaman dengan pola
perilaku lama mereka terkait sampah dan enggan mengubahnya. Selain itu, adanya
keyakinan bahwa konsekuensi dari pembangkangan tersebut tidak akan signifikan
bagi mereka secara individu dapat menjadi faktor motivasi untuk tidak mematuhi
undang-undang.
- Pengaruh Sosial Budaya
Aspek sosial budaya memainkan peran
penting dalam membentuk persepsi dan perilaku terkait pengelolaan sampah.
Masyarakat cenderung dipengaruhi oleh norma-norma sosial di sekitarnya. Jika di
lingkungan sekitar tidak ada tekanan sosial positif untuk melaksanakan perintah
undang-undang, maka kemungkinan besar mereka akan cenderung melanggar peraturan
tersebut.
- Peran Kelompok Sosial:
Penting
untuk memahami bahwa perilaku pembangkangan terhadap perintah undang-undang
sering kali merupakan hasil dari dinamika kelompok sosial. Jika dalam kelompok
tertentu, tidak ada tekanan untuk mengikuti aturan pengelolaan sampah, individu
akan cenderung mengikuti norma-norma kelompoknya.
- Pendidikan dan Kesadaran
Lingkungan
Kurangnya
pendidikan dan kesadaran lingkungan juga dapat mempengaruhi persepsi masyarakat
terhadap urgensi pengelolaan sampah. Jika masyarakat tidak sepenuhnya memahami
dampak negatif sampah terhadap lingkungan dan kesehatan, mereka mungkin kurang
termotivasi untuk berubah.
- Strategi Psikologis untuk
Perubahan Perilaku:
Sebagai
calon sarjana Psikologi, kita memiliki peran penting dalam merancang strategi
psikologis untuk merubah perilaku masyarakat terkait pengelolaan sampah.
Kampanye pendidikan dan kesadaran lingkungan, pembentukan norma sosial positif,
dan penggunaan teknik persuasif dapat menjadi alat yang efektif untuk mengubah
persepsi dan perilaku masyarakat.
Dalam melihat fenomena pembangkangan
masyarakat terhadap perintah undang-undang pengelolaan sampah, penting untuk
memahami bahwa ini adalah masalah yang kompleks dan memerlukan pendekatan yang
holistik serta kerjasama lintas sektor dan lintas disiplin. Permasalahan
pembangkangan masyarakat terhadap Undang-Undang Pengelolaan Sampah mencerminkan
tantangan besar dalam mencapai kesadaran lingkungan dan penerapan praktik
berkelanjutan.
Soal II
Analisis Piramida Carroll pada Pembinaan Bank Sampah oleh
Unilever
Pembinaan bank sampah oleh Unilever
dapat dianalisis melalui Piramida Carroll, sebuah kerangka kerja yang memandang
tanggung jawab perusahaan dari tiga dimensi: ekonomi, hukum, dan etika. Dalam
konteks pembinaan bank sampah, Unilever menjalankan berbagai peran yang
mencerminkan komitmen mereka terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan.
- Tanggung Jawab Ekonomi
Unilever
secara aktif berpartisipasi dalam pembinaan bank sampah melalui dukungan
finansial yang signifikan. Mereka menyediakan dana untuk mendirikan bank
sampah, memberikan peralatan, dan memberikan pelatihan kepada masyarakat.
Dengan memberikan kontribusi ekonomi ini, Unilever memberikan dampak positif
pada pertumbuhan ekonomi lokal dan menciptakan kesempatan kerja baru.
- Tanggung Jawab Hukum
Unilever
memastikan kegiatan pembinaan bank sampah sesuai dengan regulasi pemerintah.
Mereka memenuhi berbagai persyaratan hukum, termasuk regulasi lingkungan,
perpajakan, dan perizinan. Dengan tindakan ini, Unilever menciptakan dasar
hukum yang kokoh untuk operasional bank sampah, yang menjadi kunci
keberlanjutan dan keberlanjutan.
- Tanggung Jawab Etika Bisnis
Dalam
aspek etika bisnis, Unilever menghormati nilai-nilai lokal dan kearifan budaya
dalam pengelolaan sampah. Mereka tidak hanya melibatkan diri dalam aspek
ekonomi, tetapi juga memahami dan menghargai konteks sosial dan budaya
masyarakat setempat. Hal ini mencerminkan komitmen Unilever terhadap praktik
bisnis yang etis dan berkelanjutan.
- Tanggung Jawab Filantropi
Pada
dimensi filantropi, Unilever tidak hanya memberikan bantuan finansial tetapi
juga memberikan pelatihan kepada masyarakat. Mereka berinvestasi dalam
peningkatan kapasitas masyarakat terkait manajemen sampah dan praktik
berkelanjutan. Dengan melakukan ini, Unilever melibatkan diri secara aktif
dalam pembangunan sosial dan pengentasan masalah sampah.
Melalui analisis Piramida Carroll,
dapat disimpulkan bahwa Unilever tidak hanya melihat tanggung jawab mereka
secara sempit pada aspek ekonomi dan hukum tetapi juga memperluasnya ke dimensi
etika dan filantropi. Hal ini menciptakan dampak positif yang lebih besar pada
masyarakat dan lingkungan. Unilever berhasil menjalankan peran sebagai pemangku
kepentingan yang bertanggung jawab dan berperan aktif dalam menanggulangi
masalah kompleks seperti pengelolaan sampah.
Daftar Pustaka
Undang-Undang Republik Indonesia No.
18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah.
Shinta, A. (2013, April 17).
Persepsi Terhadap Lingkungan. Komunitas Menulis UP45. http://kupasiana.psikologiup45.com/2013/04/persepsi-terhadap-lingkungan.htm
Sarwono, S. W. (1995). Psikologi
lingkungan. Jakarta: Grasindo & Program Pascasarjana Prodi Psikologi UI.
0 komentar:
Posting Komentar