Hubungan Persepsi dengan Perilaku Membangkang Undang-Undang No. 18 Tahun 2008
Ditulis
oleh : Puji Astutik
(21310410164)
Psikologi
Lingkungan
Esai – Ujian
Akhir Semester
Dosen
Pengampu : Dr., Dra. Arundati Shinta MA
Sumber gambar : Kompas.com
Berdasarkan data BPS tahun 2022, jumlah penduduk di Indonesia mengalami peningkatan menjadi 275,77 juta jiwa. Angka tersebut naik 1,13% dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan penduduk, tingkat urbanisasi yang tinggi, dan perilaku manusia dalam mengembangkan teknologi dan industri memberikan dampak negatif terhadap lingkungan (Ari & Yilmaz, 2022). Saat ini hampir semua negara berkembang memiliki permasalahan dalam pengelolaan sampah (Dortman, 2015). Demikian juga di Indonesia, sampah telah menjadi permasalahan nasional. Dari Yogyakarta, hal yang sama juga terjadi di Bali. Jika Februari lalu Seminyak yang kewalahan menampung sampah maka pada bulan oktober kemarin giliran Denpasar yang overload sampah.
Penanganan
pengelolaan sampah membutuhkan kerjasama dari pemerintah, pelaku usaha hingga
masyarakat umum. Terdapat 5 (lima) aspek pengelolaan sampah yaitu hukum,
kelembagaan, pendanaan, sosial budaya, dan teknologi. Pemerintah sendiri mengatur
pengelolaan sampah melalui Undang-Undang No. 18 Tahun 2008. Pasal 12 ayat (1)
menyatakan bahwa setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah
sejenis sampah rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara
yang berwawasan lingkungan. Artinya pengelolaan perlu dilakukan secara
komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir.
Aturan
lewat Undang-Undang pengelolaan sampah nyatanya belum mampu menertibkan
masyarakat. Banyak masyarakat yang cenderung “membangkang”. Hal ini berkaitan
dengan aspek sosial budaya. Penerapan aspek sosial budaya diantaranya melalui
kegiatan sosialisasi yang bermula dari rumah. Sosialisasi masyarakat ini
tampaknya masih sangat kurang sehingga berimbas pada persepsi masyarakat yang
keliru terkait sampah dan rendahnya kesadaran mengelola sampah. Undang-Undang
juga mengamanatkan operasional TPA secara sanitary landfill, namun
kenyataannya sebagian besar TPA di Indonesia masih beroperasi secara open
dumping.
Sugihartono
et al. (2007) mengemukakan bahwa persepsi adalah kemampuan otak dalam
menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Persepsi negatif umumnya beranggapan memilah sampah merupakan pekerjaan merepotkan, tidak menguntungkan dan dianggap wajar karena rendahnya partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah. Partisipasi
masyarakat memiliki hubungan yang erat antara individu satu dengan individu
yang lain atau sebaliknya, terdapat hubungan yang bersifat timbal balik dan
saling mempengaruhi, Walgito (1999) dalam Alfiandra (2009). Sebagian berpartisipasi
aktif menjaga lingkungan sebagian lain tidak peduli. Hal ini
selaras dengan tulisan Ibu Arundanti Shinta di KUPASIANA UP45 terkait
perbedaan persepsi terhadap lingkungan. Satu perilaku lebih ke arah pro
lingkungan hidup, sedangkan perilaku lainnya tidak mempedulikan restorasi
lingkungannya bahkan justru merusaknya, Shinta, A (2013).
Skema
persepsi yang dikemukakan oleh Paul A. Bell dan kawan-kawan (dalam Sarwono,
1995).
Sumber : Kupasiana UP45
Pada
gambar dijelaskan hubungan persepsi dengan perilaku, dimulai dari individu menghadapi objek yaitu sampah yang
dihasilkannya. Lalu individu bersikap sesuai persepsi masing-masing. Persepsi positif membuat individu beradaptasi memilah sampah dari rumah sesuai
dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2008. Persepsi negatif mengakibatkan perilaku membangkang dengan membuang sampah sembarangan. Hal tersebut berdasarkan pengetahuan, pengalaman serta budaya yang diadaptasi individu di lingkungan sosialnya.
Selain
pemerintah dan masyarakat, pelaku usaha contohnya Unilever juga berperan dalam
mendorong masyarakat untuk peduli sampah melalui pembinaan bank sampah.
Sumber : https://thecsrjournal.in/understanding-the-four-levels-of-csr/
Piramida
Carrol menggambarkan 4 komponen CSR. Unilever sebagai Perusahaan raksasa yang
sudah melakukan 1) Tanggung jawab ekonomi , menghasilkan berbagai produk yang
menguntungkan, 2) Tanggung jawab hukum, memastikan operasi bisnis yang
dijalankan memenuhi syarat hukum yang berlaku, 3) Tanggung jawab etika,
melaksanakan aktivitas yang sesuai dengan etika masyarakat, selanjutnya 4)
Tanggung jawab filantropi, dengan berkontribusi keuangan dan sumber daya
manusia untuk meningkatkan kualitas lingkungan.
Menyadari
pentingnya pengelolaan sampah secara kolektif dan terintegrasi, Unilever terus
memberdayakan dan mendukung ribuan program bank sampah yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia. Unilever berkomitmen untuk mengurangi sampah plastik dengan
mengurangi berat kemasan produknya dan menargetkan seluruh kemasan plastiknya
dapat didaur ulang. Selain itu untuk memperkuat keberadaan dan peranan bank
sampah binaannya, Unilever juga melakukan upaya digitalisasi bekerjasama dengan
platform Google My Business, sehingga memudahkan masyarakat dalam mengakses
dan memanfaatkan bank sampah terdekat
Daftar
Pustaka
Alfiandra, 2009. Kajian
partisipasi masyarakat yang melakukan pengelolaan persampahan 3R du Kelurahan
Ngaliyan dan Kalipancur Kota Semarang, Tesis, Universitas Diponegoro,
Semarang.
Ari, E., & Yilmaz,
V. (2022). Extended household waste separation model (HWSM) within the scope of
moral norms, environmental values and facilitating conditions. Gazi Journal
of Economics and Business, 8(3), 469-487.
Dortmans B., 2015. Valorisation
of organic waste-Effect of the feeding regime on process parameters in a
continuous black soldier fly larvae composting system. Theses,
Department of Energy and Technology, Swedish University of Agricultural
Scientes, Swedish.
Sarwono, S. W. (1995). Psikologi
Lingkungan. Jakarta: Grasindo & Program Pascasarjana Prodi Psikologi
UI.
Shinta, A (2013). Persepsi
terhadap lingkungan. Diakses pada 27 Desember 2023 dari http://kupasiana.psikologiup45.com/2013/04/persepsi-terhadap-lingkungan.html
Sugihartono, Fathiyah
KN, Harahap F, Setiawati FA, Nurhayati SR. 2007. Psikologi Pendidikan.
Yogyakarta, UNY Press.
0 komentar:
Posting Komentar