Persepsi dan
Perilaku Masyarakat dalam Implementasi UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengolahan
Sampah di Yogyakarta
Nama: Maulana
Nof Ikhsan
Nim:22310410083
Kelas: Psikologi
SP
Dosen Pengampu: Dr.,Dra.
Arundati Shinta MA
- Krisis sampah
yang melanda Yogyakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia menjadi
perhatian serius, terutama dalam konteks implementasi Undang-undang No. 18
Tahun 2008 Tentang Pengolahan Sampah. Meskipun pemerintah daerah telah
mendirikan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan Tempat Pengolahan Sampah
Terpadu (TPST), jumlah sampah yang terus meningkat menunjukkan adanya
ketidakpatuhan masyarakat terhadap undang-undang tersebut. Dalam konteks
ini, penting untuk memahami hubungan antara persepsi masyarakat dan
perilaku mereka terkait pengelolaan sampah, yang mungkin menjadi kunci
dalam merumuskan strategi yang lebih efektif.
Persepsi
Masyarakat Terhadap Sampah dan Pengelolaannya
Persepsi
masyarakat terhadap sampah memainkan peran penting dalam membentuk perilaku
mereka terhadap pengelolaan sampah. Sebagian besar masyarakat mungkin memiliki
persepsi bahwa sampah bukanlah masalah serius atau bahwa dampaknya tidak
langsung dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Faktor ini dapat menciptakan
sikap acuh tak acuh terhadap regulasi pengelolaan sampah yang telah diterapkan.
Selain itu, adanya ketidakpercayaan terhadap efektivitas kebijakan pemerintah
dalam menangani masalah sampah juga dapat meracuni persepsi masyarakat.
Faktor
Sosial Budaya dalam Perilaku Pembangkangan
Dalam
konteks perilaku pembangkangan terhadap undang-undang pengelolaan sampah,
faktor sosial budaya turut memainkan peran krusial. Masyarakat memiliki
kecenderungan untuk mengikuti norma-norma sosial yang berlaku dalam lingkungan
mereka. Jika perilaku membuang sampah sembarangan dianggap sebagai sesuatu yang
biasa atau tidak melanggar norma, maka kemungkinan besar masyarakat akan
melibatkan diri dalam perilaku tersebut.
Selain
itu, adanya faktor identitas kelompok juga dapat memengaruhi perilaku
masyarakat terkait sampah. Jika suatu kelompok memiliki norma yang tidak mendukung
praktik pengelolaan sampah yang baik, individu dalam kelompok tersebut mungkin
merasa terdorong untuk mengikuti norma tersebut agar tidak dianggap menyimpang.
Oleh karena itu, untuk mengubah perilaku masyarakat terkait sampah, penting
untuk memahami dinamika sosial dan budaya yang mempengaruhi persepsi dan norma
mereka.
Persepsi
terhadap Manfaat dan Konsekuensi
Persepsi
masyarakat terhadap manfaat dan konsekuensi dari mengikuti atau melanggar
undang-undang pengelolaan sampah juga berpengaruh pada perilaku mereka. Jika
masyarakat merasa bahwa mengelola sampah secara benar memberikan manfaat yang
nyata, seperti lingkungan yang bersih dan sehat, mereka mungkin lebih cenderung
untuk patuh terhadap regulasi. Di sisi lain, jika konsekuensi dari melanggar
peraturan dianggap tidak signifikan atau tidak langsung dirasakan, masyarakat
mungkin lebih mudah untuk mengabaikannya.
Psikologi
Lingkungan dan Perilaku Berkelanjutan
Dalam
bidang psikologi lingkungan, konsep perilaku berkelanjutan menjadi relevan
dalam mengkaji mengapa masyarakat seringkali tidak mematuhi undang-undang
pengelolaan sampah. Teori-teori seperti Theory of Planned Behavior dan
Value-Belief-Norm Theory menunjukkan bahwa perilaku berkelanjutan dipengaruhi
oleh sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku yang dirasakan. Dalam konteks
pengelolaan sampah, sikap positif terhadap praktik pengelolaan sampah, norma
sosial yang mendukung, dan persepsi bahwa individu memiliki kendali atas
perilaku mereka dapat mendorong perubahan perilaku yang lebih positif.
Intervensi
Psikologis untuk Mengubah Perilaku
Penting
untuk menciptakan intervensi psikologis yang efektif untuk mengubah perilaku
masyarakat terkait sampah. Kampanye penyuluhan yang mengedukasi masyarakat
tentang dampak negatif sampah terhadap lingkungan, kesehatan, dan keberlanjutan
hidup dapat memengaruhi sikap dan persepsi mereka. Selain itu, melibatkan
tokoh-tokoh masyarakat atau pemimpin pendapat dalam mendukung praktik
pengelolaan sampah yang baik dapat membentuk norma sosial yang positif.
Dalam
konteks implementasi Undang-undang No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengolahan Sampah
di Yogyakarta dan kota besar lainnya di Indonesia, pemahaman yang holistik
terhadap faktor psikologis masyarakat menjadi krusial. Persepsi, norma sosial,
dan faktor psikologis lainnya dapat memainkan peran besar dalam membentuk
perilaku masyarakat terkait pengelolaan sampah. Oleh karena itu, strategi yang
efektif untuk mengatasi krisis sampah ini harus melibatkan pendekatan
psikologis yang komprehensif, termasuk pendidikan, kampanye sosial, dan
partisipasi aktif tokoh-tokoh masyarakat untuk membentuk norma positif yang
mendukung pengelolaan sampah yang berkelanjutan.
- Pengelolaan
sampah merupakan tantangan global yang memerlukan keterlibatan berbagai
pihak, termasuk perusahaan swasta. Unilever, sebagai salah satu perusahaan
multinasional yang peduli terhadap isu lingkungan, telah aktif terlibat
dalam pembinaan bank sampah di berbagai wilayah di Indonesia. Untuk
memahami lebih lanjut tentang peran Unilever dalam pembinaan bank sampah,
kita dapat mengkaji melalui lensa Piramida Carroll, yang mencakup tanggung
jawab ekonomi, hukum, etika, dan filantropi.
1. Tanggung
Jawab Ekonomi:
Tanggung
jawab ekonomi adalah dasar dari Piramida Carroll, mencakup kewajiban perusahaan
untuk menciptakan nilai ekonomi dan lapangan kerja. Unilever, sebagai
perusahaan yang beroperasi di sektor konsumen, memiliki tanggung jawab ekonomi
dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Dalam konteks pembinaan bank sampah,
Unilever dapat menciptakan nilai ekonomi dengan memfasilitasi program-program
pelatihan dan bimbingan bagi masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan sampah.
Unilever
dapat memberikan dukungan finansial untuk pendirian dan pengembangan bank
sampah, menciptakan peluang pekerjaan baru dan meningkatkan perekonomian lokal.
Sebagai contoh, Unilever dapat memberikan dana untuk infrastruktur bank sampah,
menyediakan pelatihan bagi anggota bank sampah, dan memberikan insentif ekonomi
untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat.
2. Tanggung
Jawab Hukum:
Tanggung
jawab hukum menekankan kepatuhan perusahaan terhadap hukum dan regulasi yang
berlaku. Dalam konteks pengelolaan sampah, Unilever dapat memastikan bahwa
kegiatan pembinaan bank sampah mereka sesuai dengan regulasi pemerintah terkait
pengelolaan sampah. Ini mencakup pemenuhan standar kebersihan lingkungan,
penanganan limbah, dan aspek-aspek hukum lainnya yang berkaitan dengan
keberlanjutan.
Unilever
juga dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk membantu penyusunan
kebijakan yang mendukung pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Dengan
demikian, Unilever tidak hanya mematuhi peraturan yang ada tetapi juga berperan
aktif dalam membentuk regulasi yang mendukung inisiatif keberlanjutan.
3. Tanggung
Jawab Etika:
Tanggung
jawab etika menyoroti prinsip-prinsip moral dan perilaku yang diikuti
perusahaan. Dalam konteks ini, Unilever dapat mengintegrasikan prinsip-prinsip
keberlanjutan dan etika dalam seluruh rantai pasokan mereka, termasuk pembinaan
bank sampah. Hal ini mencakup praktik-praktik yang ramah lingkungan,
transparansi, dan keterlibatan komunitas secara adil.
Unilever
dapat membimbing bank sampah untuk menerapkan praktik pengelolaan sampah yang
berkelanjutan, memastikan bahwa kegiatan mereka tidak merugikan lingkungan dan
masyarakat setempat. Dengan demikian, Unilever tidak hanya memberikan dukungan
finansial tetapi juga memastikan bahwa pembinaan bank sampah sesuai dengan
norma etika yang tinggi.
4. Tanggung
Jawab Filantropi:
Tanggung
jawab filantropi melibatkan kontribusi perusahaan untuk kepentingan sosial dan
kemanusiaan tanpa mengharapkan keuntungan langsung. Dalam hal pembinaan bank
sampah, Unilever dapat berperan sebagai filantropis dengan memberikan dukungan
finansial, sumber daya, dan keahlian mereka untuk meningkatkan kapasitas bank
sampah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Unilever
dapat mendukung proyek-proyek komunitas yang berfokus pada pendidikan
lingkungan, kampanye kesadaran masyarakat, dan pengembangan program-program
keberlanjutan. Dengan berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan filantropis
ini, Unilever dapat membentuk citra perusahaan yang peduli terhadap
keberlanjutan dan memberikan dampak positif pada masyarakat.
Melalui
lensa Piramida Carroll, dapat dipahami bahwa peran Unilever dalam pembinaan
bank sampah melibatkan lebih dari sekadar tanggung jawab ekonomi. Unilever
berperan aktif dalam menciptakan nilai ekonomi, memastikan kepatuhan terhadap
hukum, menjunjung tinggi prinsip-prinsip etika, dan memberikan dukungan
filantropis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan
lingkungan. Dengan demikian, keterlibatan Unilever dalam pembinaan bank sampah
bukan hanya sebagai kewajiban bisnis, tetapi juga sebagai kontribusi positif
terhadap tantangan global dalam pengelolaan sampah dan keberlanjutan.
0 komentar:
Posting Komentar