Kamis, 28 Desember 2023

ESSAY UAS Psikologi Lingkungan Persepsi Terhadap Lingkungan

 Nama : Riska Nurul Fadillah

Nim : 22310410122

Kelas : Reguler A1

Dosen Pengampu : Dr.,Dra. Arundati Shinta MA


Persepsi Terhadap Lingkungan


Hubungan antara persepsi dan perilaku masyarakat dalam pembangkangan terhadap Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengolahan Sampah dapat dijelaskan melalui beberapa faktor psikologis dan sosial budaya yang saling terkait. Pertama, pemahaman masyarakat tentang urgensi masalah sampah dapat memengaruhi perilaku mereka. Jika masyarakat tidak menyadari dampak negatif sampah terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, kemungkinan mereka kurang termotivasi untuk mematuhi undang-undang yang menetapkan standar pengelolaan sampah. Selain itu, nilai-nilai budaya yang mendorong konsumsi berlebihan dan penggunaan barang sekali pakai dapat menjadi faktor penting dalam membentuk persepsi dan perilaku masyarakat terhadap sampah. Jika masyarakat memandang pengurangan sampah sebagai hambatan terhadap gaya hidup konsumtif, mereka mungkin cenderung mengabaikan tuntutan undang-undang.


Faktor pengetahuan juga memiliki peran signifikan dalam membentuk persepsi dan perilaku terkait sampah. Tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang cara-cara yang ramah lingkungan untuk mengelola sampah dapat memengaruhi kepatuhan mereka terhadap undang-undang. Kurangnya informasi atau pemahaman yang benar tentang konsekuensi buruk dari open dumping dapat menjadi hambatan yang signifikan. Ekonomi juga turut memainkan peran dalam dinamika ini. Jika pilihan pengelolaan sampah yang ramah lingkungan terasa mahal atau tidak ekonomis bagi masyarakat, mereka mungkin lebih cenderung untuk memilih solusi yang lebih murah, bahkan jika itu tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang.


Aspek sosial budaya, seperti norma sosial di lingkungan tertentu, juga dapat memberikan kontribusi yang signifikan. Kehadiran atau absennya tekanan sosial untuk mematuhi undang-undang dapat memengaruhi sikap dan tindakan masyarakat terhadap pengelolaan sampah. Demikian pula, ketidakpercayaan terhadap penegak hukum dan keyakinan bahwa penegakan undang-undang tidak konsisten atau adil dapat menggerakkan masyarakat untuk mengabaikan aturan-aturan yang ada. Selain itu, kemudahan akses terhadap fasilitas pengelolaan sampah juga menjadi faktor penting. Jika fasilitas tersebut tidak mudah diakses, masyarakat mungkin cenderung untuk memilih solusi yang lebih praktis meskipun tidak ramah lingkungan.


Dengan mempertimbangkan semua faktor ini, para psikolog dapat merancang strategi komunikasi dan intervensi yang lebih efektif untuk merubah persepsi dan perilaku masyarakat terkait pengelolaan sampah sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Pendekatan holistik yang memperhitungkan dinamika kompleks antara faktor-faktor psikologis dan sosial budaya menjadi kunci dalam menciptakan perubahan positif dalam sikap dan tindakan masyarakat terhadap isu pengelolaan sampah.

Piramida Carroll adalah suatu kerangka kerja yang menggambarkan tanggung jawab sosial perusahaan yang terdiri dari empat tingkatan, yaitu ekonomi, hukum, etika, dan filantropi. Peranan Unilever terhadap pembinaan bank sampah di masyarakat, kita dapat diuraikan melalui empat tingkatan dalam Piramida Carroll:


1. Tingkat Ekonomi

   - Unilever, sebagai perusahaan besar di bidang konsumen dan barang konsumsi, beroperasi dalam lingkungan ekonomi yang kompleks. Dalam konteks pembinaan bank sampah, perusahaan ini dapat dianggap memberikan kontribusi ekonomi melalui penciptaan program-program yang mendukung kegiatan pengelolaan sampah, termasuk pembinaan bank sampah. Dengan menciptakan dan mendukung program-program ini, Unilever dapat menciptakan nilai tambah bagi masyarakat dan ekonomi setempat.


2. Tingkat Hukum:

   - Unilever sebagai perusahaan yang beroperasi di berbagai negara tentu tunduk pada peraturan dan undang-undang yang berlaku. Dalam konteks bank sampah, perusahaan ini berkontribusi pada pematuhan hukum dan peraturan terkait pengelolaan sampah. Dengan mendukung pembinaan bank sampah, Unilever dapat memastikan bahwa kegiatan perusahaannya sejalan dengan kerangka hukum yang berlaku, membantu menciptakan sistem pengelolaan sampah yang lebih teratur dan sesuai dengan undang-undang.


3. Tingkat Etika

   - Unilever dapat dianggap memiliki tanggung jawab etika terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini, perusahaan ini tidak hanya mematuhi hukum, tetapi juga berusaha untuk bertindak secara etis. Melalui pembinaan bank sampah, Unilever menunjukkan kepedulian terhadap isu lingkungan dan keberlanjutan. Dukungan terhadap kegiatan ini dapat diartikan sebagai langkah etis untuk mengurangi dampak negatif sampah terhadap lingkungan.


4. Tingkat Filantropi

   - Pada tingkatan filantropi, Unilever memberikan dukungan melalui pembinaan bank sampah sebagai bentuk kontribusi sosialnya. Ini mencakup inisiatif perusahaan yang melampaui kewajiban hukum dan etika. Unilever memberikan sumber daya dan dukungan finansial untuk pembinaan bank sampah sebagai langkah filantropis untuk membantu mengatasi masalah sampah dan membangun kesadaran masyarakat.


Dengan demikian, melalui pendekatan Piramida Carroll, dapat dijelaskan bahwa Unilever tidak hanya beroperasi secara ekonomis dan hukum, tetapi juga bertindak secara etis dan berkontribusi secara filantropis dengan membantu dalam pembinaan bank sampah. Ini mencerminkan komitmen perusahaan untuk berpartisipasi aktif dalam menjawab tantangan sosial dan lingkungan, sesuai dengan nilai-nilai tanggung jawab sosial korporat.

Nggeboe, F. (2016). Undang-undang No. 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah: Perspektif penerapan sanksi dan peraturan daerah. Jurnal Hukum PRIORIS, 5(3), 265-275.

INDONESIA, P. R. (2008). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah.

Sisworini, P. R. (2017). Implementasi Pasal 29 Ayat (1) Huruf E Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah Terkait dengan Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Membuang Sampah. Novum: Jurnal Hukum, 4(3), 181-181.

0 komentar:

Posting Komentar