Rabu, 27 Desember 2023

ESSAY UAS PSIKOLOGI LINGKUNGAN - CELYN INTANG AULIA (21310410169_SJ)

 

DARURAT PENGELOLAAN SAMPAH

Psikologi Lingkungan Essay Ujian Akhir Semester

Dosen Pengampu : Dr., Dra. Arundati Shinta MA

 


CELYN INTANG AULIA

21310410169

Fakultas Psikologi Proklamasi 45

Yogyakarta

 

Sampah di Indonesia yang menumpuk merupakan masalah serius. Penuhnya kapasitas tempat pembuangan akhir (TPA) menjadi penanda bahwa pengelolaan sampah di Indonesia berada dalam titik kritis. Salah satu penyebab meluapnya sampah di TPA karena banyaknya timbulan atau produksi sampah yang terus meningkat dan sulit terbendung. Pengelolaan sampah yang belum optimal sehingga menyebabkan sejumlah persoalan lingkungan, kebersihan, dan kesehatan. Salah satu kasus yang terjadi di TPA Piyungan, Bantul, Yogyakarta. Saat ini TPA tersebut sudah ditutup karena kapasitas sampah yang ditampung sudah melebihi batas. Dari kasus penumpukan sampah yang ada, masyarakat dituntut untuk membantu menumbuhkan persepsi lingkungan.

Persepsi terhadap lingkungan hidup adalah cara-cara individu memahami dan menerima stimulus lingkungan yang dihadapinya (Shinta, 2013). Penerimaan setiap individu dalam mengatasi masalah akan berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan. Begitu juga dengan permasalahan sampah ini. Setiap individu berbeda dalam bertanggung jawab atas sampah yang mereka miliki. Setiap individu memandang berbeda dalam persepsi lingkungan sehingga membentuk tindakan yang berbeda baik yang menguntungkan maupun merugikan lingkungan.

Bagan 1. Skema Persepsi

Pada Bagan 1 menunjukan bahwa persepsi individu dalam mengatasi sampah dibagi menjadi dua yaitu dalam batas optimal/normal dan diluar batas optimal/normal. Sampah yang masih dalam batas optimal/normal setiap individu dapat menangani dan mengatasi dengan baik sehingga keadaan individu menjadi stabil atau tidak cemas atau tidak depresi atau disebut sebagai homeostatis. Individu yang merasa nyaman, maka ia akan berusaha untuk mempertahankan situasi ini. Tindakan ini seperti menyapu, membersihkan, mencuci.

Persepsi diluar batas optimal atau normal adalah kondisi individu tidak dapat menangani permasalahan sampah di sekitar. Volume sampah yang dihasilkan setiap harinya akan terus meningkat dan akan menumpuk. Tindakan dalam mengatasi masalah yang ada disebut dengan coping behavior. Menurut kamus lengkap psikologi coping behavior adalah tingkah laku atau tindakan penanggulangan; sembarang perbuatan, dalam mana individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya, dengan tujuan menyelesaikan sesuatu (tugas, masalah) (Chaplin, 2004). Apabila usaha individu mengatasi stres itu sukses maka ia telah melakukan adaptasi (penyesuaian diri, mengubah diri agar sesuai dengan lingkungan) atau melakukan adjustment (mengubah lingkungan agar sesuai dengan dirinya). Penerapan coping stress ini adalah dengan melaksanakan program 3R (Reduse, Reuse, dan Recycle). Reduse merupakan tindakan mengurangi dalam menghasilkan sampah, contoh perilakunya adalah mengurangi penggunaan plastik, seperti membungkus makanan dengan daun, menggunakan botol minuman sendiri. Reuse merupakan tindakan menggunakan kembali, contoh perilakunya adalah menggunakan botol plastik bekas untuk media tanam. Recycle merupakan tindakan mendaur ulang, contoh perilakunya adalah pembuatan pupuk kompos dari sampah daur ulang. Perilaku adjusment merupakan tanda bahwa manusia tidak mau begitu saja tunduk pada gejala-gejala alam. Apabila dalam mengatasi stress terhadap sampah ternyata gagal dan kegagalan itu terjadi berulang kali, maka situasi ini individu akan mengalami stress. Stres yang terjadi pada individu merupakan masalah serius yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental.

Dalam penerimaan persepsi setiap individu akan berbeda dengan indvidu lainnya dan menghasilkan stimulus yang berbeda juga. Lingkungan sosial sangatlah berpengaruh terhadap persepsi masyarakat terhadap sampah. Masyarakat yang tidak melakukan pengelolaan sampah telah melanggar UU No 18 Tahun 2008. Perbedaan persepsi ini terjadi karena ada lima faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan persepsi yaitu budaya, status sosial ekonomi, usia, agama, dan interaksi antara peran gender, desa/kota, dan suku (Sarwono, 1995). UU No 18 Tahun 2008 mengatur tentang pengelolaan sampah.

Pengelolaan sampah yang kurang terjadi karena beberapa faktor, yaitu:

-Kurangnya kesadaran masyarakat tentang sampah dan pengelolaannya dapat menyebabkan ketidakpedulian. Kurangnya kesadaran dapat terjadi karena pendidikan dan informasi yang kurang. Tingkat pemahaman masyarakat terhadap dampak negatif dari kurangnya pengelolaan sampah, pemilahan sampah, dan daur ulang sampah masih rendah.

-Budaya mengabaikan sampah di lingkungan sosial sekitar sangat berpengaruh. Beberapa masyarakat memiliki budaya yang kurang peduli terhadap sampah. Sikap mengabaikan sampah dapat mengakibatkan perilaku sembarangan dalam pembuangan sampah.

-Ketidakpastian aturan dan penegakan hukum yang kurang menjadi salah satu faktor yang berpengaruh selanjutnya. Penegakan hukum terhadap pelanggaran UU pengelolaan sampah tidak konsisten, masyarakat mungkin memiliki persepsi bahwa melanggar aturan tersebut tidak akan mendapatkan konsekuensi serius.

-Kondisi ekonomi yang sulit dalam pengelolaan sampah yang efektif seringkali memerlukan biaya, terutama terkait dengan pengumpulan dan pengolahan sampah. Masyarakat akan memenuhi kebutuhan dasar dan mengganggap masalah sampah sebagai tanggung jawab pemerintah.

-Kurangnya edukasi terhadap masyarakat tentang pentingnya pengelolaan sampah dan cara yang benar.

-Kurangnya sarana dan prasarana pengelolaan sampah, seperti tempat pembunagan sampah yang sesuai, minimnya fasilitas daur ulang, dapar membuat masyarakat sulit untuk mempraktikkan pengelolaan sampah yang baik.

Pada aspek edukasi terhadap masyarakat, perusahaan Unilever sudah membantu pemerintah dan mendorong masyarakat untuk peduli sampah melalui pembinaan bank sampah. Sejalan dengan upaya pemerintah, Unilever Indonesia berkolaborasi dengan Google mendampingi pebisnis bank sampah untuk mendaftarkan diri di platform Google My Business. Informasi mengenai bank sampah akan muncul saat pengguna mencari nama bisnis atau nama bidang usaha di search engine dan google maps (Unilever, 2020). Perusahaan akan terus memantau dan mengajak lebih banyak lagi bank sampah untuk bergabung, sehingga mereka dapat memanfaatkan teknologi digital dalam mengambangkan usaha. Perusahaan juga harus memperhatikan empat tingkat tanggung jawab, yaitu ekonomi, hukum, etika, dan filantropi atau yang biasa disebut dengan Piramida Carroll atau Corporate Social Responsibility. Carroll (1991) menyatakan bahwa piramida meliputi seluruh perspektif dari apa yang masyarakat harapkan lewat sebuah perusahaan, baik secara ekonomi maupun sosial.


Mari kita lihat bagaimana peran Unilever dalam pembinaan bank sampah dapat dijelaskan dengan menggunakan Piramida Carroll.

1.      Tanggung Jawab Ekonomi

Unilever sebagai perusahaan memiliki tanggung jawab ekonomi untuk menciptakan nilai ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Melalui program pembinaan bank sampah, Unilever dapat menciptakan peluang pekerjaan dan memajukan ekonomi masyarakat lokal.

2.      Tanggung Jawab Hukum

Unilever harus mematuhi semua hukum dan peraturan yang berlaku dalam wilayah operasionalnya. Dalam konteks pembinaan bank sampah, Unilever perlu memastikan bahwa kegiatan tersebut sesuai dengan peraturan pengelolaan sampah dan lingkungan yang berlaku.

3.      Tanggung Jawab Etika

Unilever, sebagai bagian dari tanggung jawab etika, harus menjalankan operasinya dengan mempertimbangkan nilai-nilai moral dan etika. Dalam pembinaan bank sampah, Unilever dapat memastikan bahwa hubungannya dengan masyarakat lokal bersifat adil, transparan, dan berkelanjutan.

4.      Tanggung Jawab Filantropi

Pada tingkat filantropi, Unilever dapat memberikan dukungan lebih dari yang diwajibkan oleh hukum atau etika. Dalam konteks ini, Unilever dapat memberikan dukungan finansial, pelatihan, atau sumber daya lainnya kepada bank sampah dan masyarakat setempat sebagai bentuk kontribusi positif yang tidak hanya bersifat wajib.

Dengan demikian, melalui pembinaan bank sampah, Unilever dapat mencakup berbagai aspek tanggung jawab sosial perusahaan, mulai dari aspek ekonomi hingga filantropi. Program ini tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga mendukung praktik bisnis yang etis dan berkelanjutan serta memberikan kontribusi positif pada lingkungan dan masyarakat lokal.


 

Daftar Pustaka           

Carroll. (1991). The Pyramid of Corporate Social Resposibility: Toward the Moral Management of Organizational Stakeholders. Bussiness Horizons, 34, 39-48.

Chaplin, J. P. (2004). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali Pers.

Sarwono, S. W. (1995). Psikologi lingkungan. Jakarta: Grasindo & Program Pascasarjana Prodi Psikologi UI.

Shinta, Arundati. (2013). Persepsi Terhadap Lingkungan. Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta. http://kupasiana.psikologiup45.com/2013/04/persepsi-terhadap-lingkungan.html

Unilever. (2020). Unilever Indonesia Ungkap Potensi Rantai Nilai Daur Ulang Sampah Plastik. Jakarta. http://kupasiana.psikologiup45.com/2013/04/persepsi-terhadap-lingkungan.html

 

 

0 komentar:

Posting Komentar