Rabu, 27 Desember 2023

Hubungan Antara Persepsi dengan Perilaku Membangkang Perintah UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah

 Psikologi Lingkungan

Essay Ujian Akhir Semester (UAS)

Oleh: Ahmad Ghozali (19310410031)

Dosen Pengampu: Dr. Arundati Shinta, M.A.

Fakultas Psikologi

Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta


Sampah adalah salah satu permasalahan lingkungan yang serius di Indonesia. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada tahun 2022, Indonesia menghasilkan sekitar 36,1 juta ton sampah per tahun, dengan tingkat penanganan sampah yang hanya mencapai 49,3 persen. Sampah yang tidak tertangani dengan baik dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan, seperti pencemaran udara, air, dan tanah, penyebaran penyakit, bencana banjir, dan pemanasan global.

Untuk mengatasi permasalahan sampah ini, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Undang-Undang ini mengatur tentang asas, tujuan, tugas dan wewenang pemerintah, hak dan kewajiban masyarakat, perizinan, penyelesaian sengketa, pengawasan, dan sanksi terkait dengan pengelolaan sampah. Undang-Undang ini juga mendorong pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan, yaitu dengan mengutamakan pengurangan sampah di sumbernya (reduce), serta pemanfaatan sampah melalui kegiatan penggunaan ulang (reuse), pendauran ulang (recycle), dan pengolahan (recovery).

Namun, masih banyak orang-orang yang tidak mematuhi UU No. 18/2008 ini. Mereka masih membuang sampah sembarangan, tidak memilah sampah, tidak mengurangi penggunaan kantong plastik, dan tidak mendaur ulang sampah. Perilaku-perilaku ini tentu saja bertentangan dengan tujuan UU No. 18/2008, yaitu untuk menciptakan lingkungan yang sehat, bersih, dan lestari.

Lalu, apa yang menyebabkan orang-orang tersebut membangkang perintah UU No. 18/2008? Salah satu faktor yang dapat menjelaskan hal ini adalah persepsi terhadap lingkungan. Persepsi adalah proses kognitif yang melibatkan pengenalan dan interpretasi terhadap rangsangan sensorik yang diterima individu (Walgio, 2005). Sedangkan persepsi terhadap lingkungan hidup adalah cara individu untuk menerima dan memahami stimulus dari lingkungan yang dihadapinya (Shinta, 2013). Persepsi terbagi menjadi dua macam, yaitu persepsi positif dimana individu memberikan respon positif yang diikuti dengan penerimaan secara baik terhadap obyek, sedangkan pada persepsi negatif individu akan memberikan respon yang negatif dan diikuti dengan penolakan terhadap obyek (Mahmud, 1990).

Dalam konteks lingkungan, persepsi positif yaitu persepsi yang menganggap lingkungan sebagai sesuatu yang penting dan berharga bagi kehidupan manusia. Orang-orang yang memiliki persepsi positif cenderung memiliki kepedulian dan tanggung jawab terhadap lingkungan. Sedangkan persepsi negatif yaitu persepsi yang menganggap lingkungan sebagai sesuatu yang tidak penting dan tidak berharga bagi kehidupan manusia. Orang-orang yang memiliki persepsi negatif cenderung tidak peduli dan tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Dari dua jenis persepsi tersebut, dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang sering membangkang perintah UU No. 18/2008 adalah orang-orang yang memiliki persepsi negatif terhadap lingkungan. Mereka tidak menyadari atau mengabaikan dampak buruk dari perilaku mereka terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Mereka juga tidak merasa memiliki kewajiban atau manfaat untuk mengikuti aturan pengelolaan sampah yang berlaku.

Persepsi negatif dan pelanggaran terhadap peraturan Undang-Undang ini dapat dipengaruhi oleh aspek-aspek pengelolaan sampah yang tidak terpenuhi, antara lain:

  • Aspek peraturan: yaitu ketiadaan atau kelemahan dalam penegakan hukum terkait dengan pengelolaan sampah. Hal ini dapat menimbulkan rasa aman atau tidak takut bagi orang-orang yang melanggar aturan pengelolaan sampah.
  • Aspek lembaga: yaitu ketidakmampuan atau ketidakpedulian lembaga-lembaga yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sampah. Kurangnya koordinasi atau kerja sama antara lembaga-lembaga tersebut juga dapat menyebabkan inefisiensi atau inkonsistensi dalam pengelolaan sampah.
  • Aspek keuangan: yaitu keterbatasan dana untuk pengelolaan sampah. Hal ini dapat menimbulkan kesulitan bagi orang-orang dalam mengakses fasilitas-fasilitas pengelolaan sampah, seperti tempat penampungan sementara, tempat pendauran ulang, tempat pengolahan, dan tempat pemrosesan akhir. Selain itu, kurangnya insentif atau kompensasi bagi orang-orang yang melakukan tindakan-tindakan ramah lingkungan juga dapat menyebabkan kurangnya motivasi atau keuntungan bagi mereka.
  • Aspek sosial budaya: yaitu kebiasaan atau tradisi yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan. Hal ini dapat menimbulkan resistensi atau penolakan orang-orang terhadap perubahan perilaku dalam pengelolaan sampah. Selain itu, kurangnya kesadaran atau partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah juga dapat menyebabkan kurangnya dukungan atau tekanan sosial bagi orang-orang yang melanggar aturan pengelolaan sampah.
  • Aspek teknologi: yaitu keterbelakangan atau ketidaksesuaian teknologi yang digunakan dalam pengelolaan sampah. Hal ini dapat menimbulkan ketidakmampuan atau ketidakamanan bagi orang-orang dalam melakukan tindakan-tindakan ramah lingkungan, seperti mengurangi produksi sampah, memilah sampah, mendaur ulang sampah, dan mengolah sampah.

 

Sumber Referensi

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2022). Capaian kinerja pengelolaan sampah. SIPSN. https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/

Mahmud, M. D. (1990). Psikologi pendidikan. BPFE.

Pemerintah Indonesia. (2012). Undang-Undang Republik Indonesia nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah. Jakarta.

Shinta, A. (2013). Persepsi terhadap lingkungan. Kupasiana. http://kupasiana.psikologiup45.com/2013/04/persepsi-terhadap-lingkungan.html

Walgio, B. (2005). Pengantar psikologi umum. Penerbit Andi.



Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar